Karya Tulis Para Peneliti Balai Arkeologi Medan

Just another WordPress.com weblog

ARCA PERUNGGU GARUDA DAN BODDHISATVA PADMAPANI DARI PADANGLAWAS

with 3 comments

Ery Soedewo
Balai Arkeologi Medan

Abstract
Padang Lawas is one of some sites from Hindoo-Buddhist period in North Sumatra. Based on artefactual data, many archaeologists agreed that religion background of Padang Lawas antiquities is Vajrayana or Tantrayana Buddhism. It’s supported by the new discoveries of two bronze sculptures from Candi/Biara Tandihat site, i.e. Garuda and Boddhisatva Padmapani. Now these sculptures are collected in Museum Negeri Sumatera Utara, Medan.

I. Pendahuluan

Padang Lawas merupakan suatu dataran aluvial yang terbentuk akibat sedimentasi dua sungai besar yakni Sungai Batang Pane dan Sungai Barumun yang membelah jajaran Pegunungan Bukit Barisan yang membentang di sepanjang sisi barat Pulau Sumatera. Di tepian aliran dua sungai itulah hingga kini masih dapat dilihat sejumlah bukti kejayaan peradaban yang bercorak Hindu-Buddha.

Sebagian ahli purbakala (arkeolog) berpendapat kepurbakalaan di Padang Lawas adalah bukti kejayaan dari suatu kerajaan Hindu-Buddha, bernama Pane. Namun sebagian lainnya berpendapat bahwa kekunoan di Padang Lawas merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Perbedaan pendapat itu muncul karena hingga kini belum diperoleh data tertulis di situs ini yang secara tegas menunjuk pada nama kerajaan yang melatarbelakangi keberadaannya. Sehingga muncullah berbagai asumsi yang hingga sekarang masih menjadi perdebatan di kalangan ahli purbakala dan sejarawan.

Sebagaimana umur manusia ada batasnya, demikian pula halnya dengan peradaban di Padang Lawas. Goncangan pertama yang dialami oleh peradaban ini adalah pada tahun 1030 Masehi ketika penguasa kerajaan Cola -berada di India bagian selatan- yakni Rajendra I menyerang Panai yang diperkirakan merupakan kerajaan yang membangun kepurbakalaan di Padang Lawas. Meskipun pernah mengalami masa surut tampaknya kerajaan ini masih eksis hingga abad ke-14 M, yang dibuktikan dengan disebutkannya nama Panai sebagai salah satu wilayah kerajaan Majapahit yang berada di bumi Malayu oleh Prapanca dalam kitab karangannya Negarakertagama. Setelah masa itu tidak diketahui dengan pasti apakah Kerajaan Panai masih eksis dan biaro-biaronya dimanfaatkan sebagaimana fungsinya sebagai tempat persembahyangan. Hingga pada pertengahan abad ke-19 (tepatnya tahun 1837) saat Belanda dapat menaklukan wilayah Padang Lawas, sebagai bagian dari upaya Belanda mereduksi wilayah pengaruh kaum Padri di tanah Tapanuli.

Kemudian untuk mengetahui lebih banyak lagi mengenai daerah-daerah yang baru ditaklukannya, maka pemerintah Hindia Belanda mengutus seorang ahli geologi, yaitu Franz Junghun untuk melakukan eksplorasi. Pada tahun 1846 ia mendapat kesempatan untuk menyingkap tirai penutup daerah Padang Lawas yang telah berabad-abad terlupakan. Meskipun belum mendalam, setidaknya laporan atas apa yang telah dilakukannya di sana memunculkan rasa keingintahuan berbagai pihak. Sepuluh tahun setelah Junghun, kembali seorang penjelajah berkunjung ke Padang Lawas. Penjelajahan yang dilakukan oleh Rosenberg itu menghasilkan sejumlah temuan artefaktual, salah satu diantaranya berupa arca Buddha, yang dikirim ke museum di Batavia (Museum Nasional Jakarta sekarang). Pada tahun 1887 giliran seorang kontrolir bernama  Van Kerchoff menerbitkan karya tulis tentang kepurbakalaan di Padang Lawas.  Lalu pada tahun 1901 dan 1902 Residen Tapanuli membuat daftar mengenai kepurbakalaan di wilayah kerjanya termasuk pula kekunoan di situs Padang Lawas. Suatu survei yang dilakukan pada tahun 1920 oleh seorang arkeolog Belanda bernama Dr. P.V. van Stein Callenfels makin menguatkan arti penting situs ini, sehingga segera disusul dengan sejumlah penelitian oleh Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala). Namun kegiatan itu segera terhenti karena kurangnya dana seiring terjadinya malaise (resesi ekonomi dunia). Hingga pada tahun 1935 seorang arkeolog Belanda yang lain bernama F.M. Schnitger melakukan penelitian intensif di situs ini, yang menghasilkan sejumlah temuan menarik (Koestoro dkk.,2001:11–12).

Kegiatan penelitian di Padang Lawas kembali dilanjutkan oleh Dinas Purbakala Indonesia sejak tahun 1952 hingga 1956. Sempat terhenti agak lama perhatian terhadap situs ini muncul lagi setelah suatu tim gabungan dari Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (Indonesia) dengan Pennsylvania University (Amerika Serikat) mensurvei kepurbakalaan di Pulau Sumatera termasuk di antaranya adalah Padang Lawas. Upaya nyata penyelamatan kepurbakalaan di Padang Lawas benar-benar terwujud dengan dipugarnya beberapa Candi/Biara mulai tahun 1983 yakni Candi/Biara Bahal I dan Candi/Biara Bahal II. Kegiatan pemugaran masih terus berlanjut hingga tahun 2004 terhadap candi-candi perwara di kompleks Biara Sipamutung oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh (wilayah kerjanya meliputi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara), serta Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Utara. Selain kegiatan pemugaran, penelitian terhadap situs masa klasik (Hindu-Buddha) ini masih terus berlanjut seperti yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Medan sejak tahun 1994 hingga tahun 2002.

II. Data “Baru” dari Padang Lawas

Dua arca logam yang kini masih disimpan di ruang penyimpanan koleksi Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara hingga kini seolah terabaikan dari perhatian para peneliti purbakala. Hal ini terjadi salah satunya karena memang arca ini tidak diletakkan di ruang pamer sehingga bagi mereka yang tidak melihat koleksi-koleksi lain yang tidak dipamerkan sudah pasti tidak akan melihatnya.

Arca pertama (foto 1, 2, dan 3) adalah satu arca perunggu bernomor inventaris 3459, yang seluruh permukaannya sudah dilapisi patina. Secara umum dapat dipilah menjadi bagian utama berupa bujursangkar yang masing-masing sisinya berukuran 8 cm (berfungsi sebagai batur/landasan) dan tinggi 5 cm, yang pada satu sisinya terdapat penggambaran sosok yang bagian mukanya berparuh (lihat Foto 2), kedua tangan diangkat setinggi kepala seolah sedang menyunggi sesuatu, pergelangannya dihiasi masing-masing satu gelang, kedua kakinya yang berbentuk cakar burung terkangkang lebar, bagian tubuhnya digambarkan bertubuh manusia, lehernya dihiasi sebentuk klinting (lonceng kecil baiasanya dikenakan pada binatang-binatang piaraan atau kanak-kanak di Jawa), bagian dadanya dihiasi sebentuk pengikat dada, di dekat bahu yang berlanjut hingga sisi kedua tangannya terdapat tonjolan yang menggambarkan sayap dibentangkan (lihat Foto 1), sedangkan ketiga sisi samping lainnya polos; di atas permukaan bujursangkar terdapat bentuk bunga teratai berdiameter 3 cm setinggi 2 cm, yang di atasnya terdapat bentuk sepasang kaki manusia yang jari-jarinya menghadap ke arah bagian belakang kepala sosok berparuh tersebut (lihat Foto 3); sedangkan bagian bawahnya berlobang (kosong/tidak pejal). Menurut keterangan pihak Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara, arca yang menggambarkan sosok berparuh ini ditemukan oleh anggota masyarakat di areal sekitar situs Candi/Biara Tandihat di Padang Lawas, Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten Tapanuli Selatan. Namun sayang penemunya tidak menyebutkan secara pasti di mana tepatnya pada areal situs dimaksud dia menemukan arca logam tersebut.

Arca kedua (foto 4 dan 5) adalah satu arca perunggu bernomor inventaris 3478 setinggi 8 cm, dan lebar 4 cm, yang sudah dilapisi patina digambarkan dalam sikap duduk satvaparya?kasana (bersila, kaki kanan di atas kaki kiri), duduk di atas padma (teratai) yang sebagian besar sudah lenyap; tangan kiri dalam sikap vara/varadamudra (memberikan anugerah), mengenakan kelat bahu dan gelang pada pergelangan tangannya, demikian halnya dengan tangan kanan juga mengenakan kelat bahu, serta gelang pada pergelangannya, namun mulai bagian itu hingga telapak tanggannya sudah dalam keadaan putus, pada tangan kanan ini masih terlihat sisa sebentuk juntaian yang memanjang dari pertemuan (terjepit) lengan dengan tangan hingga ke pangkuannya. Bagian badan dihiasi oleh ikat pinggang, selendang yang terjuntai mulai bahu kiri menuju ke bagian kanan pinggang terus berlanjut lagi ke arah bahu kiri, mengenakan kalung yang menutupi hingga sebagian dari dadanya; dan bagian kepalanya dihiasi oleh mahkota yang dibentuk dari jalinan rambutnya (jatamakuta), meskipun samar-samar pada bagian mahkotanya masih tampak wujud Buddha Amitabha. Arca perunggu ini ditemukan oleh anggota masyarakat di areal sekitar situs Candi/Biara Tandihat di Padang Lawas, Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten Tapanuli Selatan.

III. Pembahasan

Arca dari areal sekitar Candi Tandihat yang digambarkan kepalanya berparuh, berbadan manusia, dan bersayap, ternyata dijumpai pula di sejumlah tempat yang mendapat pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha (India) seperti Bali, Jawa, Thailand, Tibet, dan Jepang.  Sosok ini di Tibet disebut Khyung/Kading, merupakan burung mistis yang bentuknya menyerupai elang namun berukuran lebih besar hingga sanggup mengahalangi sinar matahari karena ukuran raksasanya itu. Di Jepang mahluk manusia-elang ini disebut Karura, dibayangkan memiliki nafas api, bersayap emas, dan mengenakan mahkota permata yang memiliki kekuatan magis di kepalanya (http://www.khandro.net/mysterious-garuda.htm). Di Jawa penggambaran sosok ini banyak terdapat di candi-candi terutama dari periode Jawa Timur seperti yang dapat dilihat pada relief Candi Kidal maupun arca perwujudan Airlangga dari Candi Belahan (kini di Museum Trowulan). Baik di India, Bali, maupun Jawa sosok tersebut disebut sebagai Garuda. Garuda adalah tokoh setengah dewa yang dalam mitologi Hindu dikenal sebagai wahana/tunggangan Dewa Wisnu. Tokoh ini dibayangkan bertubuh manusia namun berparuh elang dan memiliki sayap, tubuhnya berwarna emas, wajahnya putih, sayap berwarna merah, kepalanya mengenakan mahkota sebagaimana Dewa Wisnu.

Selain dalam kepercayaan Hindu, Garuda ternyata juga tampil dalam kepercayaan Buddha. Dalam mitologi Buddha Garuda adalah wahana bagi Amogasiddhi, salah satu Dhyani Buddha dalam Buddhisme mazhab Vajrayana. Nama Amogasiddhi dapat diartikan sebagai Penakluk Yang Perkasa atau Dia Yang Secara Tepat Mencapai TujuanNya, dalam bahasa Cina disebut Bu-Kong-Ching-Jou-For, dalam bahasa Jepang disebut Fuku-Jo-Ju, sedangkan dalam bahasa Tibet disebut Don-Grub. Sebagai salah satu Boddhisatwa dalam Buddha Vajrayana, Amogasiddhi digambarkan berada di sisi utara dari suatu mandala (diagram magis untuk upacara keagamaan). Kembali lagi pada Sang Garuda, dalam Buddhisme sosok ini melambangkan manusia yang sedang dalam masa perubahan menuju suatu kesdaran baru, perubahan dari keadaan manusia biasa ke keadaan manusia yang luar biasa, yang mengambil tempat dalam kemisteriusan gelapnya malam, dan tidak tampak oleh indra penglihatan. Hampir serupa dengan Buddisme Vajrayana, dalam Tantrayana Tibet Garuda melambangkan Dzongchen (Kesempurnaan Agung), yakni pencapaian tertinggi dalam meditasi (http://www.keithdowman.net/dzongchen/garuda.htm).

Di samping merupakan wahana bagi Amogasiddhi, Garuda juga digambarkan hadir bersama-sama dengan lima pasang sosok lain yakni sepasang singa, sepasang gajah, sepasang manusia cebol, sepasang makara, dan sepasang naga. Keenam sosok tersebut melambangkan sifat-sifat utama dari Buddha Shakyamuni. Sepasang singa melambangkan kebijaksanaan yang sempurna (prajna), sepasang gajah melambangkan pemusatan pikiran (konsentrasi) yang sempurna (dhyana), sepasang orang cebol melambangkan kesempurnaan karya (virya), sepasang makara melambangkan ketabahan yang sempurna (kshanti), sepasang naga melambangkan kesempurnaan moral (shila), sedangkan seekor Garuda merupakan lambang dari kedermawanan yang sempurna (dana) dari Sang Buddha.

Dilihat morfologinya yang menggambarkan manusia dengan kepala berparuh serta sepasang tangan yang dilengkapi sepasang sayap, tidak diragukan lagi arca perunggu pertama tersebut adalah arca Garuda yang menyunggi satu tokoh dewa. Namun masalahnya adalah siapa tokoh dewa yang disungginya tersebut ? Berbeda dengan penggambaran Garuda dan Wisnu dalam bentuk arca maupun relief yang mewakili Hinduisme yang banyak ditemukan di daerah Kepulauan Nusantara -yang jelas dipengaruhi kebudayaan Hindu-Buddha- seperti di Pulau Jawa dan Pulau Bali. Penggambaran Garuda bersama Sang Buddha di Kepulauan Nusantara hingga saat ini belum pernah ditemukan. Padahal pada suatu kurun waktu Buddhisme pernah sangat berperan dan berpengaruh besar di sejumlah kerajaan klasik di Nusantara seperti Sriwijaya atau Mataram pada masa Dinasti Sailendra. Apalagi Buddhisme yang banyak dianut baik di Sriwijaya maupun di Mataram boleh dikata satu mazhab dengan religi yang melatarbelakangi kepurbakalaan di Padang Lawas, yakni Buddha Tantrayana/Vajrayana (sebagian ahli berpendapat Vajrayana adalah perkembangan dari Tantrayana). Dalam Buddha mazhab ini dikenal adanya 5 Dhyani Buddha yakni Akshobhya, Amitabha, Amogasiddhi, Ratna Sambhawa, dan Vairocana. Penggambaran kelima Dhyani Buddha ini baik dalam wujud relief maupun arca (logam maupun batu) banyak ditemukan baik di Jawa maupun Sumatera. Namun sayangnya hingga kini belum ditemukan penggambaran kelima Dhyani Buddha tersebut bersama-sama dengan wahananya di Indonesia. Padahal jelas-jelas disebutkan dalam beberapa sumber tertulis Vajrayana bahwa kelima Dhyani Buddha itu masing-masing memiliki wahana, seperti Akshobhya wahananya adalah sepasang gajah, Amitabha wahananya adalah seekor burung merak, Ratna Sambhawa wahananya adalah seekor kuda, Vairochana wahananya adalah singa, dan Amogasiddhi wahananya adalah Garuda.

Kebalikan dari situasi yang ada di Indonesia, di Thailand ternyata telah ditemukan data yang menggambarkan Dhyani Buddha memiliki wahana sebagaimana para dewa dalam Hinduisme, seperti tampak pada satu relief batu dari abad VIII–IX M yang kini disimpan di Museum Nasional Chanthrakasem Thailand (Brown,1994:24, pl. 4) yang menggambarkan Buddha diapit oleh dua sosok lain berdiri di atas Garuda (lihat Foto 6). Contoh lain dari Thailand adalah satu amulet (ajimat) tanah liat bergambar Garuda menyunggi Dhyani Buddha Amitabha, yang lebih kontemporer (dari awal abad XX M) karya Bihksu Luang Phor Parn, dari kuil Wat Bang Nom Kho di Provinsi Ayuthaya (http://www.geocities.com/Tokyo/Teahouse/1428/lpparn.htm) (lihat Foto 7).

Berdasarkan analogi lokasi ditemukannya arca Garuda yakni di sekitar Candi Tandihat yang sifat keagamaannya -sebagian besar arkeolog sependapat- adalah Buddha Tantrayana, serta data pembanding dari Thailand ada kemungkinan tokoh dewa yang disunggi oleh Garuda tersebut adalah salah satu dari lima Dhyani Buddha, tepatnya Amogasiddhi yang digambarkan dalam sejumlah sumber rujukan Buddha Vajrayana memiliki wahana Garuda.

Arca kedua yang digambarkan dalam sikap duduk satvaparyankasana, tangan kanan dalam sikap varadamudra, sedangkan tangan kirinya meskipun mulai pergelangan hingga telapaknya sudah hilang namun masih menyisakan satu kunci penting untuk mengungkapkan identitasnya, yakni bentuk  juntaian yang memanjang dari pertemuan (terjepit) lengan dengan tangan hingga ke pangkuannya. Berdasarkan data pembanding yang berupa tiga arca perunggu Padmapani dari Kerinci (Suleman,1999:40), Thailand (Suleman,1999:40), dan satu arca perunggu Padmapani yang kini berada di British Museum, London (Kempers,1959:pl. 172–173), ketiganya memiliki Buddha Amitabha di mahkotanya, sikap tangan kanan varadamudra dan tangan kiri memegang setangkai padma (teratai/seroja, Nelumbo nucifera). Dari ketiga arca perunggu Padmapani tersebut terdapat salah satu ciri penanda penting dari Boddhisatva Padmapani yakni tangan kirinya memegang setangkai bunga seroja yang tangkainya memanjang hingga ke pahanya. Maka dapat dianalogikan bahwa bentuk  juntaian yang memanjang dari pertemuan lengan dengan tangan (terjepit) hingga ke pangkuan arca perunggu dari Padang Lawas adalah fragmen dari setangkai padma, sehingga jelaslah sudah identitasnya adalah Boddhisatva Padmapani.

Padmapani adalah penggambaran dari Boddhisatva Avalokitesvara yang bertangan dua (biasanya digambarkan bertangan empat atau lebih). Dalam kepercayaan Buddha Vajrayana, Boddhisatva Padmapani adalah Sang Penyelamat, Sang Pembebas, dari keadaan yang berbahaya. Dia lah Boddhisatva yang dimintai oleh para pedagang, pelaut, serta para biksu -yang seringkali berdagang, berlayar, dan menyebarkan dharma (kebajikan) di tempat-tempat atau waktu yang kadang tidak bersahabat- pertolongannya untuk membebaskan serta menyelamatkan mereka dari mara bahaya (Gupte,1972:112–113). Sehingga tidak aneh bila kelompok-kelompok tersebut yang menganut ajaran Sang Buddha membawa bentuk-bentuk penggambaran Boddhisatva Padmapani dalam perjalanannya. Termasuk di antaranya dalam bentuk arca perunggu seperti yang ditemukan di Padang Lawas.

Penemuan arca Boddhisatva di Padang Lawas memang suatu hal yang tidak mustahil mengingat: pertama situs Padang Lawas adalah situs yang temuan-temuannya didominasi oleh artefak-artefak yang dapat dihubungkan dengan aktivitas religi terutama Buddha Vajrayana/Tantrayana; kedua selain sebagai tempat yang sifatnya religi, Padang Lawas pasti didukung kelangsungannya oleh aktivitas yang sifatnya profan, di antaranya adalah perdagangan. Berbagai mata dagangan yang dihasilkan oleh daerah sekitar Padang Lawas maupun yang didatangkan dari luar untuk memenuhi kebutuhan para pendukung budaya Padang Lawas, tentu disalurkan oleh para saudagar setempat maupun dari luar, yang diangkut dengan perahu-perahu yang menghiliri serta memudiki Batang Pane, Aek Sirumambe, dan Batang Barumun. Dalam perjalanan itu tidak menutup kemungkinan ikut serta para biksu serta para peziarah dalam perahu-perahu itu, yang dalam perjalanannya mungkin akan menjumpai halangan. Oleh sebab itu mereka memerlukan hadirnya sesuatu yang mereka anggap dapat menjamin keamanan atau keselamatan mereka menuju ke tempat yang hendak dicapainya. Hingga tidaklah mengherankan ketika kini ditemukan satu arca perunggu Padmapani di Padang Lawas, sebab dia dipercaya sebagai Sang Penyelamat, Sang Pembebas, dari keadaan yang berbahaya.

IV. Penutup

Keberadaan dua data “baru” dari Padang Lawas yang berupa dua arca perunggu yakni arca Garuda menyunggi sosok dewa (mungkin Amogasiddhi) dan arca Boddhisatva Padmapani, menambah perbendaharaan artefak, khususnya logam, dari Padang Lawas. Hal yang lebih penting selain bertambahnya jumlah adalah yang berkaitan dengan aspek kepercayaan pendukung tamadun Padang Lawas, yang semakin jelas -sekaligus memperkokoh pendapat sejumlah ahli- dengan ditemukannya kedua artefak logam tersebut, adalah Padang Lawas dahulu antara abad X hingga XIV/XV M pernah hidup masyarakat yang dipengaruhi oleh kepercayaan Buddha khususnya mazhab Tantrayana/Vajrayana.

Kepustakaan

Brown, Robert, L., 1994. ‘Rules’ for Change in The Transfer of Indian Art to Southeast Asiaan dalam Marijke J. Klokke & Pauline Lunsingh Scheurleer (ed.): Ancient Indonesian Sculpture. Leiden: KITLV Press

Gupte, R.S., 1972. The Iconography of Hindus, Buddhists, and Jains. Bombay: D.B. Taraporevala Sons & Co. Private Ltd.

http://www.geocities.com/Tokyo/Teahouse/1428/lpparn.htm

http://www.keithdowman.net/dzongchen/garuda.htm

http://www.khandro.net/mysterious-garuda.htm

Kempers, A. J. Bernet, 1959. Ancient Indonesian Art. Cambridge, Massachusetts: Harvard     University Press

Koestoro, Lucas P., dkk., 2001. Biaro Bahal Selayang Pandang. Medan: MAPARASU

Suleiman, Satyawati, 1999. Sculptures of Ancient Sumatra. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi     Nasional

Written by balarmedan

Juni 2, 2008 pada 7:36 am

Ditulis dalam Ery Soedewo,M.Hum.

3 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. mumet ngoleki sjarah wi yooooo

    tix

    September 19, 2010 at 5:05 am

  2. saya sudah pernah ke candi ini, namun keliatannya candi ini kurang mendapat perhatian dan sudah mulai hancur. foto terbaru candi ini ada di dinding fb saya

    akhmad paraduan harahap

    April 4, 2011 at 7:56 pm

  3. masih banyak candi2 di tapanuli selatan yang masih tertimbun namun belum mendapat perhatian dari pihak yang berwenang. fofo2nya terdapat di dinding fb saya

    akhmad paraduan harahap

    April 4, 2011 at 7:58 pm


Tinggalkan komentar