Karya Tulis Para Peneliti Balai Arkeologi Medan

Just another WordPress.com weblog

MENGAPA SENIMAN MEMAHATKAN FIGUR RAKSASA MENARI PADA BATUR BIARO BAHAL I ? (Sebuah Tinjauan Semiotika Piercian)

with one comment

Andri Restiyadi

Balai Arkeologi Medan

 

Abstract

In the Piercian Semiotics, a reliefs can be seen as a system of signification that consist of, an object (called sign in Saussurean Semiotics), representamen (reference of an object), and interpretan (a new object (sign) as a result of the relation between an object and its representamen based on iconical, indexical or symbolical ground). By means of that, in order to understood why Sumateran arthist were sculpted the rakshashas figure in a dancing gesture on the base-feet of Biaro Bahal I, is by connected that reliefs with the iconical, indexical or symbolical ground that exist in their people. For example, a relation with the Vajrayana Buddhism doctrine.

Kata Kunci : Relief Raksasa di Biaro Bahal I, Tanda, Semiotika Piercian

I. Pendahuluan

Relief, merupakan sebuah media komunikasi yang digunakan oleh masyarakat masa lampau. Selain itu, relief secara tidak langsung juga menjadi media komunikasi antara masyarakat masa lampau, masa kini, dan masa datang. Hal ini karena sebuah relief selain memuat aspek seni dan religi juga memuat informasi mengenai aktivitas dan peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Dalam proses produksi relief, seniman selaku produsen tidak menyusun komponen-komponen yang terdapat dalam relief secara sembarangan, melainkan disesuaikan dengan konvensi-konvensi sosial-budaya yang berlaku dalam masyarakat pada masa itu. Agar komunikasi antara seniman dan masyarakatnya berjalan sesuai dengan yang dikehendaki, maka pesan-pesan yang terdapat dalam relief disandikan dalam bentuk tanda. Tanda-tanda tersebut diseleksi dari berbagai referensi/acuan yang terekam dalam memori seniman semasa hidupnya untuk kemudian dikombinasikan sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah totalitas yang meliputi aspek bentuk (ekspresi), isi (pesan), dan estetika (rasa).

Relief secara umum dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu relief dekoratif dan relief cerita. Relief dekoratif mempunyai fungsi sebagai hiasan pengisi bidang kosong pada bangunan candi. Adapun relief cerita merupakan pengungkapan visual dari naskah kesusastraan maupun cerita tutur. Hampir semua candi yang ditemukan sampai saat ini mempunyai relief dekoratif, sedangkan relief cerita hanya terdapat pada candi-candi tertentu. Salah satu relief yang menarik untuk dikaji karena informasi yang dikandungnya adalah relief raksasa yang dipahatkan pada batur Biaro Bahal I, di kompleks percandian Padang Lawas.

Suleiman (1985: 26) berasumsi bahwa relief raksasa tersebut merupakan indikasi bahwa Biaro Bahal I, pada khususnya digunakan untuk peribadatan umat Buddha sekte Vajrayana. Apabila ditelaah lebih dalam, permasalahan-permasalahan yang muncul berkaitan dengan relief raksasa tersebut, antara lain: 1) siapakah sosok raksasa yang dipahatkan pada batur Biaro Bahal I tersebut? 2) mengapa seniman memahatkan figur raksasa, bukan figur yang lain? 3) mengapa figur raksasa digambarkan dalam posisi menari? dan yang terakhir, 4) mengapa seniman memahatkan figur raksasa tersebut pada batur biaro, bukan pada atap, tubuh, atau kaki biaro? Melalui pisau bedah Semiotika Piercian, diharapkan dapat menjawab dan menjelaskan latar belakang konsep seniman masa lampau berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang muncul pada masa kini.

II. Kerangka analisis Semiotika Piercian

Dalam pandangan semiotika, semua fenomena budaya termasuk relief di dalamnya, dapat dipandang sebagai sebuah sistem tanda. Untuk mengkaji objek seni sebagai tanda, sama artinya dengan menganggapnya sebagai bagian dari kehidupan sosial dan kebudayaan. Dengan kata lain, mengkaji relief sebagai sistem tanda, akan sama artinya dengan mempelajari kebudayaan tempat relief tersebut berada. Relief mempunyai referensi pada fenomena kultural yang merupakan milik masyarakat tertentu, tradisi tertentu, dan cara berpikir tertentu. Dapat dikatakan bahwa relief menyatakan pertaliannya dengan sesuatu melalui bentuknya, sehingga untuk mengkajinya adalah dengan cara menemukan kode-kode yang mengatur pada suatu komunitas, kebudayaan dan atau ruang tertentu (Restiyadi,2006:17).

Landasan semiotika yang digunakan dalam hal ini adalah semiotika yang dikembangkan oleh Charles Sanders Pierce (1839-1914). Model semiotika Piercian tidak berdasarkan pada ilmu linguistik, seperti semiotika yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure (1871-1913) melainkan lebih mengarah pada sebuah situasi komunikasi (Sonesson,tt(a):23).

Pada konteks Semiotika Piercian yang lebih sering disebut sebagai semiotika komunikasi, terdapat tiga komponen utama (triadic system) sebagai unit analisisnya. Ketiga komponen tersebut adalah objek, representamen dan interpretan. Objek adalah apa yang disebut sebagai “tanda” atau sesuatu yang mengacu pada hal lain, representamen adalah acuan dari objek, atau sesuatu yang dapat dipersepsi. Adapun interpretan adalah sesuatu yang merupakan hasil dari interpretasi, dengan kata lain “tanda baru” hasil relasi antara objek dan representamen (referent/ acuannya) (Sonesson,tt(a):23). Dalam hal ini yang berlaku sebagai interpreter adalah peneliti, bukan seniman-seniman masa lalu, karena hal yang dapat disaksikan sampai saat ini adalah budaya material hasil karya mereka, bukan seniman itu sendiri.

 

 



 


 

 



Relasi antara objek dan representamen, oleh Pierce dibagi menjadi tiga bagian yaitu, iconicity (ikonik), indexicality (indeksikal) dan symbolicity (simbolik). Hubungan yang bersifat ikonik terjadi ketika terdapat beberapa bagian tanda yang memiliki kesamaan atau menyerupai acuannya, indeksikal terjadi ketika sebuah tanda berhubungan langsung dengan realitas sebenarnya dalam proses pembacaannya, dan simbolik terjadi ketika hubungan antara tanda dan acuannya menghasilkan suatu kesepakatan sosial (konvensionalitas) terhadap makna tanda tersebut (Sonesson,tt(a):24).

Satu hal yang patut dicatat dalam semiotika Piercian, bahwa proses semiosis adalah sebuah proses yang tanpa henti, tidak terdapat hasil akhir dalam proses tersebut. Hal ini berarti tanda (objek) melalui proses semiosis akan selalu menghasilkan tanda baru yang nantinya akan melewati proses semiosis selanjutnya dan menghasilkan tanda baru lagi, begitu seterusnya.

III. Relief Yaksha di Biaro Bahal I

Biaro Bahal I secara administratif terletak di wilayah Desa Bahal, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Tapanuli Selatan. Tepatnya sekitar 13 km di sebelah Utara desa, Kecamatan Gunung Tua. Biaro ini terbuat dari batu bata dan terletak di atas bukit kecil yang dikelilingi lembah. Candi induk menghadap ke arah timur dengan orientasi 110° U, dan dikelilingi pagar keliling yang tersusun dari batu pula. Di sebelah Barat daya mengalir Sungai Batang Pane. Candi induk berada di atas sebuah batur, candi ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu, bagian kaki, badan dan atap. Batur candi berbentuk bujursangkar dengan ukuran 10 m x 10 m. Tingginya dari permukaan tanah adalah 2, 5 m. untuk menaikinya terdapat tangga berukuran 2, 5 m yang memiliki 8 anak tangga dan dibatasi oleh pipi tangga. Pada bagian luar pipi tangga terdapat 3 panil relief yang menggambarkan raksasa (makhluk kahyangan yang khusus menjaga kekayaan dan kesuburan alam) dalam posisi menari (Koestoro,2001:28;Susanto, 1998:7–11).

III.1. Keletakan dan visualisasi relief raksasa

Deskripsi visual tiap panil relief dalam hal ini adalah pemaparan semua fenomena visual seperti yang tervisualisasi dalam relief secara urut dalam satu panil. Penamaan panil diurutkan dari Panil I sampai Panil VI. Arah pembacaan figur dalam relief akan dimulai dari figur yang terletak paling kiri ke kanan. Detil deskripsi disajikan dalam uraian berikut.

Relief raksasa terletak pada bagian luar pipi kanan dan kiri tangga masuk batur biaro. Keseluruhan relief terdiri dari enam panil. Pada masing-masing pipi tangga terdapat tiga panil relief yang berbentuk persegi panjang vertikal. Panil berbentuk persegi tersebut bagian atas dibatasi oleh pelipit. Adapun pada sisi bawah panil terdapat jarak tiga susunan bata dengan pelipit bawah pipi tangga masuk. Ketiga panil, baik yang terletak di sebelah barat daya atau timur laut, digambarkan secara terpisah. Dalam hal ini antara satu panil dengan panil yang lain terdapat jarak berupa pilaster setinggi dan selebar panil relief.

III.1.1. Relief raksasa di sebelah kiri tangga (barat daya)

Figur I (FI): Figur digambarkan dalam posisi berdiri. Kaki kanan diangkat setinggi lutut dan kaki kiri ditekuk ke luar. Kedua tangan diangkat ke atas setinggi kepala. Tubuh digambarkan gempal dengan perut buncit. Figur tersebut berambut ikal panjang, digerai dan tanpa mahkota. Mata melotot dan mulut menganga. Pada bagian hidung figur sudah aus sehingga sulit untuk dideskripsikan. Atribut yang digunakan oleh figur tersebut adalah, kundala yang berbentuk lingkaran pejal dan tebal. Upavīta yang berbentuk selendang, udarabandha, kain bergelombang di atas lutut dengan bagian tengah yang memanjang menyentuh tanah (diwiru)/(dhoti). Selain itu, figur ini juga memakai kankana, keyūra dan nūpura yang kesemuanya berbentuk lingkaran pejal dan tebal polos sebanyak satu lapis. Telapak tangan kanan figur menggenggam senjata berupa pisau (pedang?) yang diangkat di atas kepala (diagonal). Kepala dan tubuh digambarkan secara frontal, sedangkan kaki digambarkan secara profil menghadap ke samping.

Figur 2 (F2): Figur digambarkan dalam posisi berdiri. Kaki kanan ditekuk setinggi lutut, kaki kiri sedikit dibengkokkan ke luar. Tangan kanan diangkat ke atas setinggi kepala, dan tangan kiri dilipat 90° di depan perut. Tubuh digambarkan gempal dengan perut buncit. Berambut ikal, panjang, digerai dan tanpa bermahkota. Bagian mata dan hidung figur telah aus, mulut figur menganga lengkap dengan deretan gigi dan gigi taring menonjol. Kepala figur digambarkan agak miring ke sebelah kanan figur. Atribut yang dikenakan adalah kundala yang berbentuk lingkaran pejal dan tebal, upavīta yang berbentuk selendang, udarabandha, dengan kain bergelombang di atas lutut, dengan bagian tengah yang memanjang menyentuh tanah (diwiru) (dhoti). Selain itu, figur ini juga memakai kankana, keyūra dan nūpura yang kesemuanya berbentuk lingkaran pejal dan tebal polos sebanyak satu lapis. Kepala dan tubuh figur digambarkan secara frontal, sedangkan kaki profil.

Figur 3 (F3): Figur digambarkan dalam posisi berdiri dvibanga. Kaki kanan lurus ke depan, dan kaki kiri agak ditekuk ke depan. Pinggul figur ditarik ke belakang. Bagian kepala figur telah rusak sehingga susah untuk dideskripsikan kondisinya. Tangan kanan ditekuk ke depan, tangan kiri ditekuk 90° di depan dada. Telapak tangan kanan figur menggenggam pedang yang tegak vertikal. Atribut yang digunakan oleh figur adalah kundala yang berbentuk lingkaran pejal dan tebal satu, upavīta berbentuk selendang, udarabandha, kain bergelombang di atas lutut, dengan bagian tengah yang memanjang menyentuh tanah (diwiru)/(dhoti), kankana, keyūra, dan nūpura yang berbentuk lingkaran pejal, tebal, dan polos, satu lapis. Penggambaran kepala figur tidak dapat diketahui, tubuh ¾ pandangan, kaki kanan profil, sedangkan kaki kiri frontal.

III.1.2. Relief raksasa di sebelah kanan tangga (sebelah timur laut)

Figur 1(F1): Figur digambarkan dalam posisi berdiri. Kaki kanan diangkat setinggi lutut, dan kaki kiri agak ditekuk ke samping. Bagian wajah dan mahkota figur telah rusak sehingga susah untuk dideskripsikan kondisinya. Tangan kanan figur juga telah aus, tetapi apabila dilihat dari sisa lengan yang masih dapat disaksikan, mengindikasikan bahwa tangan figur diangkat ke atas. Adapun tangan kiri ditekuk 90° di depan dada. Figur digambarkan bertubuh gempal. Rambut ikal digerai. Atribut yang digunakan oleh figur adalah kundala yang berbentuk lingkaran pejal dan tebal satu, udarabandha, kain bergelombang di atas lutut, dengan bagian tengah yang memanjang menyentuh tanah (diwiru) (dhoti). Kankana berbentuk lingkaran satu lapis. Keyūra berbentuk lingkaran dua lapis, dan nūpura yang berbentuk lingkaran pejal, tebal, dan polos, satu lapis. Kepala dan tubuh figur digambarkan secara frontal, kaki digambarkan secara profil.

Figur 2 (F2): Figur digambarkan dalam posisi berdiri dvibanga. Kaki kanan diangkat setinggi lutut, dan kaki kiri agak ditekuk ke depan. bagian wajah figur telah rusak sehingga tidak dapat lagi dideskripsikan kondisinya. Rambut figur digambarkan panjang, ikal dan digerai. Figur tampak mengenakan kirita-makuta. Tubuh digambarkan gempal. Tangan kanan diangkat ke atas, telapak tangan kanan menggenggam pedang yang diangkat di atas kepala (horizontal). Tangan kiri ditekuk 90° di depan dada. Atribut yang digunakan oleh figur adalah kundala yang berbentuk lingkaran pejal dan tebal dua lapis, udarabandha, kain bergelombang di atas lutut, dengan bagian tengah yang memanjang menyentuh tanah (diwiru) (dhoti). Kankana berbentuk lingkaran satu lapis. Keyūra berbentuk lingkaran dua lapis, dan nūpura yang berbentuk lingkaran pejal, tebal, dan polos, satu lapis. Kepala dan tubuh figur digambarkan secara frontal, kaki digambarkan secara profil.

Figur 3 (F3): Figur digambarkan dalam posisi berdiri. Kaki kanan diluruskan sedangkan kaki kiri ditekuk ke depan. tubuh agak condong ke depan. Kepala figur agak dimiringkan ke kanan figur. Bagian wajah figur telah rusak. Rambut panjang, ikal digerai. Figur mengenakan kirita-makuta. Tubuh digambarkan gempal dan proporsional. Tangan kanan diturunkan ke bawah agak ditekuk, telapak tangan kanan menggenggam pedang. Tangan kiri ditekuk 90° di depan dada, telapak tangan kiri diangkat ke atas dengan jari-jari ditekuk. Atribut yang digunakan oleh figur adalah kundala yang berbentuk lingkaran pejal dan tebal dua lapis, udarabandha, kain bergelombang di atas lutut, dengan bagian tengah yang memanjang menyentuh tanah (diwiru)/(dhoti). Kankana berbentuk lingkaran dua lapis. Keyūra berbentuk lingkaran dua lapis, dan nūpura yang berbentuk lingkaran pejal, tebal, dan polos, dua lapis. Kepala dan tubuh figur digambarkan secara frontal, kaki kanan digambarkan frontal sedangkan kaki kiri profil.

 

IV. Pembahasan

Berkaitan dengan analisis semiotika, satu hal yang paling prinsip adalah tanda (objek). Dalam hal ini sesuatu yang disebut tanda utama apabila dijadikan bentuk verbal akan menjadi, [relief raksasa dalam posisi menari yang dipahatkan pada batur Biaro Bahal I]. Untuk memudahkan analisis, tanda tersebut akan dirinci menjadi unit-unit tanda yang lebih kecil yaitu, tanda I [figur raksasa]; tanda II [figur digambarkan dalam tiga panil dalam posisi menari dan mulut menganga]; dan yang terakhir Tanda III [batur Biaro Bahal I].

Untuk mengetahui representamen dari tanda I, yaitu [figur raksasa], dalam hal ini diperlukan ground peneliti selaku interpreter pada masa sekarang. Ground, nantinya akan menjadi penghubung antara referensi seniman dan referensi peneliti dalam menginterpretasi figur raksasa. Dalam hal ini karena figur raksasa dipahatkan pada dinding sebuah bangunan suci agama Buddha, maka ground dengan sendirinya akan berkaitan juga dengan konsep kepercayaan agama Buddha pada masa itu. Seperti yang dikatakan oleh Sairam (1982:17–18) bahwa sebuah ‘seni religius’ yang ideal menyiratkan titik penting ketika aspirasi kebebasan, pandangan dunia, dan pikiran jernih seniman, pada saat yang bersamaan dikendalikan oleh religiusitas.

Kembali pada ground, figur raksasa dikenal dalam agama Hindu, Buddha ataupun Jain. Dalam mitologi India, penggambaran rakshasha, dibedakan menjadi dua. Pertama, yaitu sebagai tokoh jahat yang berusaha merebut kekuasaan dari para dewa, yang kedua disebut sebagai Yaksha, yang merupakan roh-roh halus (http://www.khandro.net/mysterious_spirits.htm). Dalam konteks ini, terdapat kecenderungan bahwa figur raksasa yang terpahat pada batur Biaro Bahal I adalah Yaksha. Dugaan ini didasarkan pada, 1) figur raksasa digambarkan pada sebuah bangunan suci; 2) figur digambarkan tanpa gambaran bidang latar belakang, sehingga yang menjadi pusat perhatian adalah figur itu sendiri tanpa gangguan dari bidang latar belakang. Figur yang menjadi pusat perhatian pembaca relief dan dipahatkan pada bangunan suci tidak lain adalah figur dewa atau yang dianggap sebagai dewa, tidak mungkin figur raksasa jahat dipahatkan pada sebuah bangunan suci tanpa adanya figur dewa atau pahlawan yang menyertainya. Lalu siapakah figur Yaksha ?

Di Tibet Yaksha disebut sebagai Gnod Sybin, yang termasuk ke dalam kelas roh halus. Disebutkan juga dalam salah satu teks Buddha bahwa Yaksha adalah penjelmaan kekuatan supernatural dari alam. Mereka biasanya hidup terpencil dari manusia dan memiliki keistimewaan sebagai pemimpin kehidupan spiritual (http://lionsroar.name/tantric.glossary.htm). Sumber lain menyebutkan bahwa Yaksha termasuk ke dalam kelas semi-dewa. Pada umumnya penuh dengan kebaikan, tetapi kadang-kadang juga jahat. Beberapa diantaranya digambarkan sebagai sosok dewa-dewa lokal, yang lainnya hidup di Gunung Sumeru (Mahameru) untuk menjaga dunia para dewa (http://www.rangjung.com/rootfiles/ryp-glossary.htm#Y). Yaksha juga dikenal sebagai dewa yang melimpahkan keberuntungan dan kekayaan (Jain & Daljeet,2006: 10). Raja dari para Yaksha, dalam agama Hindu adalah Kubera, sedangkan dalam agama Buddha disebut Jambhala yang merupakan Dewa Kekayaan. Figur Yaksha sering digambarkan dalam bentuk raksasa ataupun figur manusia biasa dengan perhiasan yang mencolok (Jain & Daljeet,2006:10). Melalui uraian di atas, dapat diketahui bahwa tanda I [figur raksasa] mempunyai ground indeksikal dengan representamennya. Hal ini berarti, tanda I [figur raksasa] mengindikasikan sebuah konsep bahwa figur tersebut adalah Yaksha yang digambarkan sebagai raksasa.

Tanda II, yaitu [figur digambarkan dalam tiga panel dalam posisi menari dan mulut menganga]. Tanda II ini akan dirinci lagi menjadi tiga tanda yang lebih kecil, yaitu tanda (a) [figur digambarkan dalam tiga panil relief], dan tanda (b) [figur digambarkan dalam posisi menari dengan mulut menganga]. Masing-masing tanda akan dihubungkan dengan ground yang bersifat ikonik dan indeksikal untuk selanjutnya ditentukan representamen yang paling tepat.

Tanda (a) yaitu, [Figur digambarkan dalam tiga panil relief], apabila dihubungkan dengan ground yang bersifat ikonik, dapat berarti bahwa jumlah figur yang digambarkan dalam relief tersebut adalah tiga figur. Akan tetapi, apabila diamati lebih detil, tampak bahwa komponen-komponen ikonografi dan gambaran wajah yang dimiliki oleh tiga figur tersebut sama. Hal ini tentunya menjadi sebuah pertimbangan juga bahwa terdapat sebuah kemungkinan bahwa figur yang digambarkan sebenarnya berjumlah satu figur saja, tetapi digambarkan dalam tiga sekuen gerakan tari. Representamen yang terakhir sepertinya lebih tepat apabila diterapkan pada tanda (a). Dengan demikian, tanda (a) yaitu [figur digambarkan dalam tiga panil relief], merupakan sebuah indikasi adanya sebuah konsep bahwa jumlah figur sebenarnya satu tetapi digambarkan dalam tiga panil relief karena figur tersebut bergerak dalam tiga sekuen gerakan. Hal ini berarti antara tanda (a) dan representamennya memiliki ground yang bersifat indeksikal.

Tanda (b) yaitu [figur digambarkan dalam posisi menari dengan mulut menganga], representamen dalam hal ini juga akan dihubungkan juga dengan konsep kepercayaan dalam agama Buddha. Satu hal yang perlu dicatat dalam hal ini adalah adanya asesoris berupa sebilah pedang. Pedang, selain sebagai sarana mempertahankan diri juga merupakan simbol dari adanya pengorbanan. Apabila konsep ini dihubungkan dengan aktivitas menari yang dilakukan oleh Yaksha, terdapat kemungkinan bahwa Yaksha dalam hal ini digambarkan dalam posisi melakukan aktivitas tarian pengorbanan. Seperti yang dikemukakan oleh Suleiman (1985:26), bahwa kompleks percandian Padang Lawas erat kaitannya dengan agama Buddha sekte Vajrayana.
Hal tersebut antara lain didasarkan pada beberapa temuan yang mengindikasikan keberadaan sekte tersebut di kompleks percandian Padang Lawas. Antara lain adalah penemuan Arca Bhairawa, Heruka dan Prasasti Tandihat yang berisi mantra dalam sekte Vajrayana. Upacara terpenting bagi penganut aliran Vajrayana adalah upacara Bhairawa yang pelaksanaannya berlangsung di sebuah ksetra, yakni tempat penimbunan mayat sebelum dibakar yang dianggap suci. Di sana mereka melakukan semadi, menari-nari, merapalkan mantra-mantra, membakar mayat, minum darah, tertawa-tawa, serta mengeluarkan bunyi dengus seperti suara banteng (Suleiman,1985:26). Lebih jauh lagi, pisau atau pedang dalam hal ini sebagai simbol dari pengorbanan. Melalui uraian di atas, maka tanda (b) merupakan sebuah indikasi terdapatnya sebuah konsep bahwa Yaksha di dalam relief tersebut digambarkan dalam suatu aktivitas ritual suci sekte Vajrayana.

Setelah dilakukan pembahasan terhadap tanda-tanda minor, yaitu (a), (b), dan (c), selanjutnya representamen dari Tanda II [figur digambarkan dalam tiga panel dalam posisi menari dan mulut menganga] dapat ditentukan dengan lebih mudah. Kata kunci untuk ground berdasarkan interpretan dari tanda (a), (b), dan (c), adalah figur melakukan tiga sekuen gerakan tari dan menari, pengorbanan dan tertawa merupakan ritual suci sekte Vajrayana. Jadi, representamen dari tanda II adalah figur digambarkan melakukan aktivitas ritual sekte vajrayana.

Menginjak pada tanda III yaitu, [batur Biaro Bahal I] akan dihubungkan dengan ground arsitektural bangunan candi secara umum, yang berarti hubungan antara tanda III dan representamennya akan bersifat indeksikal pula. Ditinjau dari segi arsitekturalnya, candi dalam hal ini candi agama Buddha, dapat dibagi menjadi tiga bagian. Bagian kaki melambangkan alam bawah tempat manusia biasa, bagian tubuh melambangkan tempat manusia yang telah meninggalkan keduniawiannya dan dalam keadaan suci menemui dewa, serta atap melambangkan tempat para dewa berada. Ketiga alam tersebut secara berturut-turut dalam agama Buddha disebut Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu (Fontein,1972:13). Dalam konteks Biaro Bahal I, ketiga bagian dari bangunan suci tersebut berada di atas sebuah batur yang berbentuk bujursangkar dengan ukuran 10m x 10m. Keberadaan batur candi ini mengindikasikan bahwa tiga bagian bangunan suci tidak didirikan di atas tanah, dan batur dalam hal ini adalah sebagai landasan tempat ketiga bangunan suci tersebut berada. Di dalam bilik candi agama Buddha, pada umumnya terdapat arca pemujaan yang tentunya merupakan figur dewa utama. Adapun batur candi merupakan bangunan tempat dilaksanakannya pradaksinapatha. Pelaksanaan pradaksinapatha, yang tidak lain adalah ritual pemujaan berupa berjalan mengelilingi bangunan suci yang dilakukan di batur candi, mengindikasikan bahwa batur candi merupakan wahana pelaksanaan ritual, tempat penting dalam pelaksanaan ritual pemujaan. Melalui uraian ground indeksikal di atas, maka tanda III yang berupa [batur Biaro Bahal I] mengindikasikan sebuah konsep bahwa batur biaro merupakan wahana ritual dan landasan ketiga bagian bangunan suci tempat dewa-dewa yang dipuja berada.

Dalam proses semiosis tanda-tanda minor di atas selanjutnya dapat dijadikan petunjuk untuk selanjutnya menentukan representamen dan interpretan dari tanda utama yang tertera di dalam permasalahan yaitu [relief raksasa dalam posisi menari yang dipahatkan pada batur Biaro Bahal I]. Hal-hal yang perlu dicatat berdasarkan analisis tanda-tanda minor, berkaitan dengan inti permasalahan adalah figur Yaksha; gerakan menari dalam tiga sekuen; ritual-ritual suci sekte Vajrayana; dan batur candi sebagai wahana ritual pemujaan dan landasan keberadaan bangunan suci tempat dewa-dewa utama dipuja. Dengan demikian, tanda [relief raksasa dalam posisi menari yang dipahatkan pada batur Biaro Bahal I] berdasarkan uraian dan pembahasan atas Tanda I, II, dan III, mengindikasikan sebuah konsep bahwa relief tersebut menggambarkan figur Yaksha yang secara kontinyu melakukan ritual-ritual suci sekte Vajrayana dengan menari dan tertawa, tidak lain untuk melindungi, memakmurkan, dan menyucikan ketiga bagian suci dari Biaro Bahal I yaitu Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu tempat dewa-dewa utama dipuja. Lebih jelas lagi, apabila dihubungakan dengan candi sebagai representasi dari Meru, maka tanda [relief raksasa dalam posisi menari yang dipahatkan pada batur Biaro Bahal I] mempunyai relasi indeksikal dengan konsep (representamen), ‘Biaro Bahal sebagai representasi dari Meru, dan Yaksha sebagai penjaga alam dewa-dewa bertempat tinggal di kaki gunung Meru tersebut, melakukan ritual ritual sekte Vajrayana dengan menari dan tertawa untuk menyucikan dan memuja dewa-dewa yang bertempat tinggal di Gunung Meru’. Melalui relasi tersebut tidak mengherankan apabila relief tersebut digambarkan pada batur candi.

V. Penutup

Melalui proses semiosis yang telah diuraiakan di atas, dapat diambil sebuah benang merah yang menghubungkan antara tanda utama yang tersurat dalam permasalahan, yaitu [relief raksasa dalam posisi menari yang dipahatkan pada batur Biaro Bahal I] dengan representamen (acuan/ referent) dan interpretan melalui bagan 2 di bawah ini.


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hal penting yang perlu diingat berkaitan dengan analisis semiotika, bahwa proses semiosis akan terus berlangsung tanpa akhir. Interpretasi yang terdapat dalam sebuah penelitian bukanlah sebuah kesimpulan akhir tetapi merupakan tanda baru yang nantinya akan mengalami proses semiosis selanjutnya.

Kepustakaan

Fontein, Jan. et. al., 1972. Kesenian Indonesia
Purba
. Grapic Society Ltd: New York.

http://www.lionsroar.name/tantric_glossary.htm

http://www.khandro.net/mysterious_spirits.htm

http://www.rangjung.com/rootfiles/ryp-glossary.htm#Y

Jain, P. C. & Daljeet, 2006. Dance The Living Spirit of Indian Arts, dalam Exotic India. http://www.exoticindiaart.com/acrobat/dance.pdf.

Kempers, A. J. Bernet, 1959. Ancient Indonesian Art. P. J. Van der Peet: Amsterdam.

Koestoro, Lucas Partanda. dkk., 2001. Biaro Bahal Selayang Pandang. Medan: Maparasu.

Restiyadi, Andri, 2006. Analisis Sintaktik, Semantik, dan Kreativitas Seniman Jawa Dalam Pembingkaian Tanda Visual—Naratif Pada Relief Cerita Krsna di Candi Prambanan (Sebuah Pendekatan Semiotika Desain), dalam Skripsi untuk gelar Sarjana dalam Ilmu Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sairam, T. V., 1982. Indian Temple Forms And Foundations, New Delhi: Agam Kala Prakasham.

Sonesson, Göran. Lecture I: The Quadrature of The Hermeneutic Cicle, Historical And Systematic Introduction to Pitorial Semiotics. http://www.chass.utoronto.ca/epc/srb/cyber/ Sonesson1.pdf. tt (a).

______________. Lecture 2: The Psychology And Archaeology of Semiosis.
http://www.chass.utoronto.ca/epc/srb/cyber/Sonesson2.pdf. tt (b).

Suleiman, Setyawati, 1985. Peninggalan-Peninggalan Purbakala di Padang Lawas, dalam Amerta 2, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hal. 23–37.

Susanto, R. M., 1998. Penelitian Arsitektur dan Pendokumentasian Candi Muara Takus Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, dan Pendokumentasian Tinggalan Arkeologi Padang Lawas, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara, dalam Berita Penelitian Arkeologi No. 2. Balai Arkeologi Medan: Medan.

 

 


 

Written by balarmedan

Juni 18, 2008 pada 3:11 am

Ditulis dalam Andri Restiady,S.S.

Satu Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. Salam Nusantara

    Tulisan Bpk Andri Restiyadi, yang berjudul ” MENGAPA SENIMAN MEMAHATKAN FIGUR RAKSASA MENARI PADA BATUR BIARO BAHAL I ? (Sebuah Tinjauan Semiotika Piercian)” di atas sangat membuka wawasan Kami akan kekayaan Sejarah dan Budaya Bangsa Indonesia, kami bermaksud untuk mempublikasikan lebih lanjut tulisan tersebut di http://wacananusantara.org/ dengan harapan agar tulisan tersebut juga bermanfaat bagi khalayak umum.

    Dengan ini saya atas nama Tim Wacana Nusantara, bermaksud meminta izin kepada ‘ Balai Arkeologi Medan’, agar berkenan dengan hal yang kami maksudkan.

    Atas perhatiannya saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.

    Hormat kami,

    Sibli Nurjaman
    Tim Wacana Nusantara
    http://wacananusantara.org/

    Informasi lebih lanjut
    [wacana@nusantara-online.com]
    +62-22-930-746-96
    Jln. Jakarta 20-22
    Komplek Kota Kembang Permai
    Ruko Kav. 21.A, Bandung-Indonesia

    Sibli Nurjaman

    Maret 26, 2010 at 10:57 am


Tinggalkan komentar