Karya Tulis Para Peneliti Balai Arkeologi Medan

Just another WordPress.com weblog

MAU KITA BAWA KEMANA INSTANSI PENELITIAN ARKEOLOGI INDONESIA ? (Sekilas Evaluasi Terhadap Tipe /Karakter SDM Para Peneliti Balai Arkeologi Medan)

with 6 comments

Defri Elias Simatupang

Balai Arkeologi Medan

 

I. Pendahuluan    

Mendengar kata Arkeologi, tentunya sudah bukan kata yang langka bagi kita yang bekerja dalam instansi-instansi pemerintah bidang penelitian arkeologi, akademisi, maupun pihak swasta. Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan masa lampau melalui benda-benda yang ditinggalkannya. Sejalan dengan itu paradigma penelitian arkeologi meliputi upaya-upaya: a. menggambarkan sejarah budaya yang telah berlangsung; b. merekonstruksi cara hidup manusia masa lampau; c. menjelaskan proses budaya yang telah berlangsung. Kemudian nantinya dikembangkan metode dan teknik yang berkaitan dengan pelestarian, pengelolaan, dan pemanfaatan sumberdaya arkeologi.

Perkembangan arkeologi sebagai sebuah ilmu mulai jelas pada abad ke-17 di Eropa. Di Indonesia sejarah arkeologi mulai muncul sejak tahun 1913, dengan berdirinya kantor pemerintahan bidang penelitian arkeologi oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan nama Oudheidkundige Diens yang kemudian pada masa RI disebut Dinas Purbakala. Tugasnya untuk mengatur dan melindungi benda- benda kuno (oudheden) di Indonesia. Perkembangan di bidang kepurbakalaan atau di bidang arkeologi berangsur meningkat secara jelas dalam aspek-aspek tenaga profesinya, sarana dan prasarana kerja serta aspek-aspek teori dan metodologi yang dengan luas mengikuti perkembangan yang berlangsung di bidang arkeologi secara global. Saat ini kantor itu bernama (Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional disingkat Puslitbang Arkenas, dan Balai Arkeologi disingkat BALAR). Keduanya saat ini berada dalam naungan Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata. Puslitbang Arkenas berkedudukan di ibukota negara, sedangkan BALAR berada di wilayah ibukota provinsi (Saat ini instansi Balai Arkeologi terdapat sepuluh kantor tersebar diseluruh Indonesia).

Tulisan ini coba untuk membahas seputar keberadaan kedua instansi tersebut, namun dalam lingkup khusus adalah instansi Balai Arkeologi Medan (Balar Medan) sebagai tempat penulis bekerja. Balai Arkeologi Medan yang berkedudukan di Medan, memiliki wilayah kerja meliputi lima propinsi (Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau). Balai Arkeologi Medan yang memiliki tupoksi antara lain; penelitian, pendokumentasian dan pengkajian ilmiah hasil penelitian, penyebarluasan informasi kearkeologian dan hasil penelitiannya. Kegiatan penelitian meliputi kajian prasejarah, sejarah (Hindu-Buddha, Islam, Kolonial, prasasti, naskah kuno), maritim, dsb. Pendokumentasian dan pengkajian ilmiah melalui gambar, foto, video serta analisis ilmiah. Kemudian penyebarluasan informasi melalui penerbitan, penyuluhan, seminar, dsb.

II. Pokok permasalahan seputar karakter / tipe para peneliti

Membahas permasalahan apa saja yang ada di instansi Balai Arkeologi Medan sepertinya akan banyak hal dan tidak akan pernah habis untuk dibahas. Namun apabila tujuannya demi perbaikan yang akan selalu harus dilakukan, maka mencari dan menemukan masalah adalah sebuah pekerjaan yang penting. Maka dari itu, tulisan ini coba mengangkat permasalahan dari sumber daya manusia (SDM)nya sendiri. Kiranya apapun permasalahan tersebut pada bagian berikutnya akan coba dikaji dan dievaluasi. Tentunya tidak seimbang bila keunggulan yang dicapai tidak turut diketengahkan.

Permasalahan menyangkut SDM umumnya menyangkut pemahaman para pegawai Balai Arkeologi Medan dalam menjiwai secara luas akan arti tujuan pekerjaannya. Sebagai instansi penelitian murni, yang paling disorot adalah SDM para penelitinya : para arkeolog sebagai ilmuwan bidang kebudayaan. Berbicara tentang “kebudayaan”, berarti membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan “budaya”, yang adalah tak lain dari “sistem nilai manusia” dari kita dan untuk kita. Manusia membuat “ada” nilai-nilai itu dan memberi “makna” pada nilai-nilai yang bersangkutan. Arkeologi secara khusus berusaha mengutarakan “apa-siapa” manusia tersebut berdasarkan fakta. Berkat penggalian dan temuan-temuan disiplin ilmiah arkeologi terungkap betapa pada suatu ketika, di masa yang lalu, manusia telah membedakan dirinya dari makhluk-makhluk sejenis. Dia telah melepaskan diri dari ketergantungannya pada alam, lalu menjajahnya, mentransendennya, bahkan mengubahnya. Dia pula yang menciptakan hidup berpasangan, sistem keluarga dan masyarakat. Juga kekuasaan, cinta kasih, permusuhan, peperangan, perangkat hukum. Mengapa? Untuk apa? Dari mana datang semangat penemuannya, hasratnya pada kekuasaan, khususnya pada pengetahuan, inspirasinya tentang kebudayaan. Demikianlah sekilah hakikat dasar tentang penelitian yang harus dilakukuan oleh para peneliti arkeologi.

Namun sejauh mana penelitian arkeologi itu memiliki sumbangsih terhadap masyarakat publik di masa kini, belum begitu kelihatan. Para arkeolog sebagai seorang PNS (abdi masyarakat) sudah seharusnya turut meyakinkan kepada masyarakat bahwa peneltian arkeologi juga berdaya guna bagi mereka. Tinggal kita dapat melihat motivasi dari para peneliti itu sendiri sebagai seorang arkeolog PNS. Kinerja SDM sangat perlu diamati. Berdasarkan pengamatan saya (meskipun belum mendalam), saya mencoba menggolangkan beberapa tipe Karakter SDM para peneliti. Para arkeolog dengan penggunaan istilah saya. Adapun tipe-tipe para arkeolog adalah :     

1. Arkeolog Kaca Mata Kuda : Arkeolog yang seperti ini maksudnya ditujukan kepada mereka yang melihat arkeologi sebagai sebuah disiplin Ilmu murni, yang tidak wajib dikaitkan dengan ilmu-ilmu yang lain. Penelitian yang dilakukan hanya mencari dan memililih situs penelitian yang kaya akan data arkeologi saja untuk didalami secara sistemastis dan ilmiah. Meskipun terkadang situs itu tidak begitu memiliki banyak potensi untuk dikaji dari sudut pandang ilmu lain. Keunggulan : Hasil penelitian sangat mendalam dan paling bisa dipertanggungjawabkan keilmiahannya dari sudut pandang Ilmu Arkeologi itu sendiri. Kekurangan : Hasil penelitian paling sulit digunakan untuk kepentingan diluar ilmu arkeologi.

2. Arkeolog Kapal Selam : Arkeolog yang seperti ini adalah karakter peneliti yang bekerja tanpa mendapatkan publikasi luas terhadap segala kegiatan penelitiannya. Alasan kurang mandapat publikasi dapat bermacam-macam. Bisa saja karena dia memang tidak suka dipublikasikan atau justru dia malah kurang memahami dan tahu tentang arti penting suatu kegiatan publikasi.                  Keunggulan : Disebabkan banyak yang tidak tahu penelitian apa yang sedang dia kerjakan, maka dia tidak terlalu mendapatkan tekanan dari kepentingan luar sampai penelitiannya selesai. Maka kedalaman berita hasil penelitinya dapat sesuai dengan keinginannya (tapi belum tentu sangat mendalam seperti tipe / karakter arkeolog kaca mata kuda). Namun justru karena itu, suatu saat hasil penelitiannya masih bisa digunakan sebagai acuan data oleh kepentingan para peneliti lain termasuk dari non ilmu arkeologi.              Kekurangan : Karya-karya hasil penelitiannya tidak banyak yang mengetahui apalagi memanfaatkan hasil penelitiannya. Kemungkinan besar tersimpan utuh di ruangannya sendiri atau di ruang arsip / perpustakaan instansi tempat dia bekerja. Kalaupun telah diterbitkan dalam bentuk buku, kemungkinan salah sasaran penyebar-luasan atau diperparah dengan penampilan fisik buku yang tidak menarik dari luar sehingga sangat sulit orang tertarik membaca buku tersebut. Umumnya tipe arkeolog seperti ini kurang terkenal meskipun pada akhirnya dia sampai memiliki gelar tertinggi dalam karier seorang peneliti (Profesor Riset / Ahli Peneliti Utama)

3. Arkeolog Pohon Rindang : Arkeolog yang seperti ini adalah arkeolog yang lebih menganggap kalau profesinya sebagai peneliti di instansi penelitian arkeologi bukan termasuk kategori tujuan utama hidupnya (ada faktor-faktor kebetulan dia dapat bekerja di instansi tersebut). Karena faktor kebetulan tersebut, maka instansi tersebut cenderung sekedar menjadi tempat berteduh saja. Peneliti itu kemungkinan besar tidak menseriusi pekerjaannya sebagai peneliti di instansi penelitian arkeologi. Yang lebih ironis menganggap kalau profesinya sebagai PNS hanya sampingan pemenuhan kebutuhan hidup belaka ditengah-tengah masa kini yang semakin sulitnya mendapatkan pekerjaan. Maka karakter seperti ini kemudian akan berusaha mencari / menemukan kepuasan bekerja dibidang lain. Tentunya sekalian motivasi untuk mendapatkan penghasilan tambahan selain dari gaji PNS. Kelebihan : Dalam tiap kegiatan penelitian, lebih suka diatur, tidak perlu wajib memikirkan sepenuhnya kegiatan penelitian. Dia tidak terlalu berambisi mengejar karier penelitinya,karena kemungkinan besar dia telah memiliki kesibukan yang lebih dia pentingkan diluar instansi tempat dia bekerja. Maka cenderung dia terhindar bersitegang dengan sesama peneliti. Dapat bekerjasama dalam setiap penelitian sebagai seorang anggota tim (bukan ketua tim). Kekurangan : Paling tidak memiliki kontribusi untuk memajukan penelitian arkeologi. Apabila ada banyak peneliti yang memiliki tipe seperti ini, maka akan semakin cepat instansi penelitian arkeologi dibubarkan oleh pemerintah.

4. Arkeolog Selebritis : Kebalikan dari karakter / tipe arkeolog kapal selam, paling banyak mendapatkan publikasi luas dan dikenal publik. Idealnya terkenal karena profesinya tersebut. Keunggulan : Akibat sering muncul / diberitakan oleh media publik, sehingga sangat membantu dalam kegiatan mempublikasikan ilmu arkeologi itu sendiri. Kekurangan : Dia sering dipublikasikan, mungkin karena dia pintar mengemas berita penelitiannya sehingga menarik untuk dikonsumsi publik. Namun yang ditakutkan apabila lebih mengutamakan performence dari pada kedalaman dan tingkat kebenaran hasil penelitiannya tersebut. Bahkan mungkin segala publikasi tentang penelitiannya (sehingga membuat dia menjadi terkenal) sangat jauh dari kebenaran sesungguhnya. Atau ironisnya, dia menjadi terkenal karena sesuatu publikasi yang tanpa disengaja turut mempublikasikan profesinya sebagai peneliti di instansi penelitian arkeologi.    

5. Arkeolog Multi Talent : Arkeolog yang seperti ini menurut saya adalah tipe / karakter arkeolog idaman. Dia mampu tampil dan menguasai pekerjaan tidak hanya di dalam kepakaran penelitian arkeologi saja. Namun dapat tampil menguasai kepakaran ilmu selain arkeologi yang lain, tentunya dapat dikaitkan dengan ilmu arkeologi tersebut. Sebagai contoh : para peneliti yang memiliki gelar S-1 arkeologi kemudian melanjutkan studi mengambil gelar S-2 di jurusan non arkeologi. Atau sebaliknya bagi peneliti yang memiliki gelar S-1 non arkeologi kemudian mengambil gelar S-2 Arkeologi. Harapannya ketika dia berbicara dalam kapasitas sebagai peneliti yang bekerja di instansi penelitian Arkeologi, dia juga mahir menguasai kepakaran di bidang lain yang memperkaya berita penelitian arkeologi tersebut. Menurut saya, sangat ideal diharapkan apabila di setiap instansi penelitian arkeologi, semua penelitinya memiliki kriteria tipe seperti ini. Maka akan terjadi kerjasama yang saling mengisi dengan aneka macam kepakaran masing-masing, bukan menjadi persaingan akibat berada di bidang kepakaran yang sama.

Kelima karakter / tipe dari peneliti yang telah dijabarkan diatas, dapat dijumpai di Instansi penelitian arkeologi (termasuk Balai Arkeologi Medan), namun tidak sepenuhnya harus sesuai demikian. Variasi gabungan antara beberapa tipe / karakter arkeolog diatas dapat terjadi, menyesuaikan situasi kondisi yang ada pada saat tertentu. Hal itu masih merupakan hal yang alami terjadi. Jadi terkadang kita bisa menjadi arkeolog kaca mata kuda, kemuadian berubah menjadi arkeolog pohon rindang, dan sebagainya. Maka sesuai dengan judul tulisan ini, yang harus dievaluasi adalah apakah kelima tipe / karakter peneliti tersebut ada di dalam Balai Arkeologi Medan ?

Saya melihat menjadi sesuatu yang ideal adalah hal yang baik untuk dipilih, dalam hal ini tipe / karakter arkeologi multi talent sebagai tawaran pilihan yang paling tepat bagi setiap para peneliti di Balai Arkeologi Medan. Multi talent dalam hal ini adalah kesadaran para peneliti Balai Arkeologi Medan, bahwasanya mereka dituntut untuk menguasai lebih dari satu kepakaran ilmu (selain ilmu arkeologi itu sendiri). Seorang arkeolog harus berani mencitrakan dirinya adalah juga sebagai seorang antroplog, geolog, politikus, konsultan, dll. Kebudayaan sebagai objek penelitian para arkeolog akan terlalu sempit bila hanya dikaji dari sudut pandang peniggalan artefak saja. Kita harus membuat tinggalan arkeologis itu banyak berbicara dan berdaya guna untuk kepetingan masa kini. Belum lagi apabila tantangan ilmu arkeologi kedepan adalah pasti akan berubah dengan masa sebelumnya.

III. Evaluasi ketertinggalan SDM para penelti

Ketika negara-negara maju dewasa ini mengalami progres yang meningkat dalam berbagai bidang kehidupan mereka, Indonesia justru mengalami stagnasi. Kemengkalan pengetahuan tentang arti, makna, arkeologi,ditambah kekurangkepahaman tentang tugas dan fungsi arkeologi pada masa kini. Ada kecenderungan bahwa situasi kemengkalan tersebut memang umum di kalangan publik, dan agaknya pula di kalangan para pejabat dari pengatur negara, bahkan pula di kalangan kita sebagai ahli arkeologi dari yang paling senior berimbas kepada yang paling junior. Apakah arkeologi Indonesia kini berada di pinggir atau kemunduran yang sulit diatasi di masa globalisasi dalam kompetisi dengan negara-negara yang mengembangkan ilmu arkeologi ? Dengan penuh kesadaran dan taat pada prinsip-prinsip ilmiah, kita berharap, agar kemajuan dan pengembangan arkeologi di Indonesia dapat dihidupkan kembali. Hal itu terutama dalam masa globalisasi yang akan melanda negara kita dalam segala bidang yang memungkinkan untuk mengadakan persaingan / kompetisi. Solusinya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) serta sarana dan prasarana kerja. Penyempurnaan manajemen kerja lembaga, dan memiliki program serta visi yang positif sebagai anggota masyarakat global tanpa kehilangan jati diri dan arah dalam arus globalisasi yang melanda dunia dewasa ini.

Kurang Interdisipliner

Ketika para arkeolog menemukan situs tengkorak purba. Berapakah umur artefak itu? Apakah Tak ada satu pun arkeolog yang mampu menjawabnya secara mutlak. Mereka terlebih dulu harus meminta bantuan kepada pakar lain. Biasanya untuk mengetahui segala sesuatu dari masa prasejarah, mereka membawa secuil sampel kepada pakar fisika nuklir, untuk menghitung atom C-14-nya yang ada dalam arang tersebut (Pertanggalan Radio Karbon).

Jelas ini merupakan sebuah kelemahan instansi peneliti arkeologi umumnya (Balai Arkeologi Medan khususnya). Karena arkeologi merupakan ilmu yang bersifat interdisipliner, maka perlu diusahakan untuk dapat memperkerjakan para ahli dibidang ilmu bantu arkeologi. Bila perlu kantor Balai Arkeologi Medan harus mempunyai planning untuk suatu saat membangun sebuah lab. untuk analisis ilmu-ilmu eksakta, seperti CT-scan dan Pertanggalan Radio Karbon tadi. Kelompok jabatan fungsional di Balai Arkeologi Medan perlu diisi oleh para peneliti dari latar belakang non arkeologi, seperti geolog, antropolog,penggambaran / rancang bangun, geografi, kimia dan biologi, dsb.Tentunya jabatan fungsional mereka itu sudah harus diplot untuk kepentingan arkeologi. Namun apabila memang sulit untuk mengusulkan ke pihak yang berwenan dalam penerimaan PNS, maka solusiya adalah mendukung sepenuhnya untuk para peneliti sadar dalam menambah kepakaran di bidang ilmu lain, melalui sekolah lanjut (S-2 / S-3).

Perlu adanya keseragaman pemikiran dalam dukungan bersama sesama para peneliti Balai Arkeologi Medan untuk menargetkan kapan semuanya bisa meraih gelar tertinggi dalam tingkat kesarjanaan. Namun masih adanya terdapat paradigma lama yang mengangap seorang peneliti belum pantas meraih gelar tingkat kesarjanaan tertinggi (S-3) apabila belum berusia lanjut. Fenomena para peneliti senior merasa tidak senang apabila para peneliti junior hendak melanjutkan sekolah lagi hingga ke jenjang tertinggi. Padahal di negara-negara Maju, seorang peneliti sudah sangat biasa memiliki gelar S-3 meskipun usianya baru menginjak kepala tiga. Seharusnya yang mejadi paradigma baru adalah gelar kesarjaan tertinggi itu pantas diprioritaskan meskipun jam terbangnya sebagai seorang peneliti arkeologi belum begitu lama. Rasanya akan sangat menguntungkan instansi itu sendiri sebagai instansi penelitian arkeologi, apabila para penelitinya (meskipun jumlahnya tidak banyak akibat sulitnya rekruitmen PNS secara berkala), lebih separoh dari mereka telah menyandang gelar Doktor / PHD. Gelar kesarjanaan tingkat tertinggi itu dapat dijadikan modal awal untuk meningkatkan rasa percaya diri kalau kita bukanlah peneliti asal-asalan. Meskipun bukan berarti seorang Doktor pasti lebih pakar dibanding yang masih bergelar S-1 / S-2.

Di kota Medan, saat ini telah mulai banyak berdiri sekolah pasca sarjana (S-2/ S-3). Kesempatan untuk sekolah tanpa harus meninggalkan pekerjaan di kantor (Balai Arkeologi Medan) sangat terbuka lebar. Ini merupakan kesempatan baik bagi para penelti untuk sekolah lagi. Masalah ketidak adaan jurusan yang diminat (misal S-2 Arkeologi), seharusnya dapat dikompromikan. Pendapat pribadi saya : seorang peneliti dengan gelar S-1 Arkeologi sangat bisa “dikawinkan” dengan S-2 jurusan apapun. Justru dengan mengambil S-2 non arkeologi akan membuat kita seperti tipe / karakter arkeolog multi talent. Karena tanpa harus mengambil S-2 / S-3 arkeologi, seiring dengan waktu kita pantas disebut pakar bidang arkeologi seiring tupoksi pekerjaan kita memang hanya untuk melakukan penelitian arkeologi saja. Justru sebaliknya, apabila kita mengambil S-2 Magister Ekonomi pembangunan (misalkan), maka kedepannya kita dapat peka untuk melakukan penelitian-peneltian arkeologi yang berdaya guna untuk kepentingan pembangunan ekonomi masyarakat sekarang. Contoh lain lagi : S-2 Magister Ilmu Komunikasi, maka kedepannya kita akan memahami seluk-beluk bagaimana cara mengkomuniksaikan ke ruang publik hasil penelitian arkeologi agar benar-benar efektif. S-2 Magister Arsitektur, maka kita diharapkan bisa menjadi konsultan untuk penanganan BCB dead monument menjadi living monument. S-2 Magister Antropologi, maka kita diharapakan dapat menjadi antroplog juga (meskipun beberapa di negara luar menganggap arkeologi sama dengan antroplogi). Dan masih banyak contoh lagi dapat dijabarkan seperti S-2 magister hukum, Linguistik, filsafat, geografi, kimia, fisika, matematika, dsb.

Dilema antara Noneksakta

Terdapat kecenderungan arkeolog-arkeolog Indonesia (Balai Arkeologi Medan) masih enggan membaca atau menelaah karangan-karangan bernuansa eksakta. Hal ini mungkin disebabkan para arkeolog itu tidak atau kurang sekali memiliki pengetahuan ilmu-ilmu eksakta. Mungkin pula latar belakang mereka di sekolah adalah Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ilmu Pengetahuan Budaya (Sosbud), bukan Ilmu Pengetahuan Alam. Ironisnya dewasa ini gelar sarjana arkeologi adalah S.S (sarjana sastra), yang “kurang menjual” dan terkesan tidak berhubungan dengan ilmu arkeologi yang sangat luas bila dijabarkan. Ilmu sastra hanyalah salah satu unsur dari kebudayaan (arkeologi) itu sendiri. Ketertinggalan arkeolog-arkeolog Indonesia tampaknya sudah semakin jauh. Karena itu perlu upaya untuk meningkatkan keterampilan mereka, terutama yang berkecimpung di bidang penelitian. Dunia iptek semakin maju, arkeolog pun semestinya membekali diri dengan pengetahuan eksakta.

Inkonsistensi dan inkoordinasi

Banyak penelitian masih selalu bersifat eksplorasi. Ironisnya ketika ada tahapan hendak mendalami situs tertentu, terbentur masalah dana. Belum lagi pihak instansi peneliti pusat yang sering mengistilahkan kalau situs penelitian di seluruh wilayah Idonesia yang “berpotensi tinggi” akan selalu digarap oleh mereka sebagai instansi pusat. Seakan-akan pihak balai arkeologi hanya untuk menggarap situs-situs bersifar kedaerahan saja. Ironisnya Puslitbangarkenas terasa semakin “disaingi” oleh balai-balai arkeologi. Terbukti beberapa peningkatan mutu pekerjaan mereka yang kalah dibandingkan “adik-adiknya”. Seperti akreditasi majalah ilmiah, sarana website yang sampai saat ini tidak mereka punya disaat empat balai arkeologi sudah memiliki (termasuk Balai Arkeologi Medan), kaderisasi para peneliti yang tidak berjalan di instansi Puslitbangarkenas. Sehingga wajar banyak orang memprediksikan bahwa umur Puslitbangarkenas tidak akan lama lagi, sebab penelitian arkeologi akan sepenuhnya dikerjakan oleh Balai-balai Arkeologi yang berkedudukan di daerah. Apabila hal itu terjadi, ini merupakan sebuah kerugian besar bagi perkembangan instansi penelitian arkeologi di negara ini. Puslitbangarkenas sangat penting sebagai penjembatani berita penelitian arkeologi nasional. Namun apabila ditubuh instansi tersebut sendiri hanya terkesan cari aman saja, merasa paling terhormat dengan predikat peneliti di instansi pusat, maka dapat berpotensi terjadi inkoordinasi yang tidak baik dan tidak diharapakan.

Reformasi harus konsisten terjadi tidak hanya di Balai-balai arkeologi, tapi juga di tubuh puslitbangarkenas. Hasil dari semacam permuan EHPA haruslah ditindak lanjuti, bukan hanya menjadi sekedar obrolan sesaat sekedar mengisi waktu. Perubahan yang dirasakan menuju perkembangan yang bersifat positif telah terjadi ketika mulai semenjak orde reformasi yang turut memperbaiki kinerja tiap-tiap instansi pemerintahan. Reformasi ini mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan intansi penelitian arkeologi sebagai ilmu pengetahuan yang lazim diterapkan di dunia internasional. Penggabungan struktur arkeologi dengan bidang pariwisata yang keduanya notabene berbeda tugas, fungsi, serta metode kerjanya harusnya menimbulkan peningkatan prestasi dan gairah kerja instansi penelitian arkeologi.

Pintar Menjual Diri

Para Peneliti Balar Medan harus pintar “menjual diri”. Maksudnya karena arkeologi sebagai sebuah ilmu murni penelitian memang bukan masuk kategori primer seperti ilmu Penelitian bidang pertanian untuk membuat butir padi dapat semakin meningkatkan hasil panen demi mencukupkan kebutuhan pangan seluruh manusia. Meskipun tidak primer tapi bukan berati dijadikan kategori ilmu sekedar pelengkap saja (sekunder / tersier). Arkeolog Balar Medan harus selalu berusaha mewacanakan melalui berbagai kegiatan penelitian yang mereka lakukan. Meyakinkan bahwa keutuhan hidup manusia tidak hanya memerlukan makanan saja. Disiplin arkeologi dengan berbagai pengetahuan budaya serta visi spiritual berkat pembawaannya, dapat mengatakan betapa apa kekurangan itu dan sekaligus menunjukkan di mana bisa didapat untuk mengisi kekurangan tersebut. Para Peneliti Balar Medan harus memiliki kemampuan kerja sama yang tinggi secara internal. Maksudnya para peneliti balar medan adalah kesatuan yang utuh dalam menyuarakan hasil penelitian atas nama pribadi dan instansi.Ekspresi dari suatu keraguan, bukan keraguan yang melemahkan, melainkan keraguan yang menggalakkan semangat yang kritis untuk bertanya. Pencitraan Balar Medan sebagai instansi yang memiliki profesionalitas tinggi dalam hubungannya keluar.

IV. Penutup (Refleksi)

Perlu adanya pemahaman akan apa yang hendak diteliti tentang kebudayaan masa lampau itu dan adanya kesadaran disiplin serta semangat ilmiah yang dikandung para peneliti Balai Arkeologi Medan. Maka diharapkan hasil penelitian arkeologi dapat berjalan seiring dengan perubahan-perubahan yang pasti akan selalu terjadi, yang tentunya tanpa harus mengorbankan semua prinsip dan kaidah ilmiah ilmu itu sendiri. Maka sungguh alangkah indahnya bila para Arkeolog Balai Arkeologi Medan kedepannya dapat memberikan sumbangan bagi pemanfaatan baik untuk kepentingan ilmu murni maupun kepentingan lain yang berguna dan dirasakan langsung oleh masyarakat luas.

Untuk itu mari kita pertanyakan diri pribadi kita masing-masing, apa saja selama ini yang telah kita perbuat sebegai peneliti bidang kebudayaan. Apakah perbuatan-perbuatan kita itu yang pasti telah menggunakan dana, tenaga dan menguras energi punya makna? Apakah jerih payah kita itu memang melayani kemajuan dan kebaikan warga kita, dalam arti membudayakan bangsa dan negara Indonesia. Atau memang benar, selama ini kita hanya sekadar berpuas diri sebagai PNS yang notabene dikenal sebagai pekerjaan tersantai yang hampir jarang terjadi kehilangan pekerjaan selama negara ini masih ada. Apabila memang demikian, dengan melakukan pekerjaan hanya sekadar, maka kita akan membawa instansi penelitian arkeologi Indonesia berakhir di sebuah jurang yang dalam ?

Written by balarmedan

September 12, 2008 pada 3:20 am

6 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. Berkarya terus untuk kemajuan bangsa dan negara. Salut dan bangga saya sampaikan kepada Peneliti Arkeologi Indonesia. Berkarya terus…

    Zulfahri

    November 1, 2008 at 4:29 am

  2. Mungkin akan lebih ‘terlihat’ lagi jika anda membandingkan (instansi) arkeologi bukan hanya BALAR dengan PUSLITBANGARKENAS yang hanya membandingkan antara BAPAK dengan ANAK; bukankah anak harus lebih baik dari bapak?
    Jika anda membandingkan BALAR (Medan) dengan kakak dan adik-adik lainnya (instansi arkeologi lainnya), akan ‘terasa’ bagaimana sebenarnya hubungan antara sesama saudara (arkeolog dan instansi arkeologi) dan bagaimana hubungan dengan ‘tetangga’ lainnya. (2BCont.)

    Edi Sampak

    Januari 22, 2009 at 3:38 pm

  3. Terima kasih atas masukannya. Memang sudah sewajarnya “anak” harus lebih baik dari “bapak”.
    Tapi “anak” apakah sudah kompak dengan “saudara-saudara”nya ? Apalgi dengan “para sepupunya” sesama arkeolog plat merah ? Kasus Trowulan seharusnya dapat dijadikan cerminan betapa masalah ini perlu mendapat perhatian. Untunglah masih ada kalangan arkeolog kampus sebagai “penengah”. SEMOGA AKAN MENJADI LEBIH BAIK LAGI

    balarmedan

    Januari 23, 2009 at 3:19 am

  4. Apakah Ada Khidupan Prasejarah di Gayo?09/03/09,09:10:21
    Senin, 9 Maret 2009 | 07:34
    Takengon Pernah Dihuni Manusia Prasejarah?
    ________________________________________
    Tidak ada yang tahu kalau kandang kerbau di Kampung Mendale, Kecamatan Kebayakan, itu pernah dihuni manusia jaman dahulu. Bentuk kandang kerbau milik warga setempat dalam istilah arkeologi disebut Rock Shelter (ceruk) yang memanjang sekitar 100 meter lebih, mengarah ke danau.

    Ceruk Mendale Berada disisi jalan Mendale, sekitar 150 meter dari danau, lebih kurang berada di ketinggian 2-3 meter Utara Danau.

    Ketut Wiradnyana memandang setiap bagian ceruk ini. Sembilan orang lainnya dari Balar (Balai Arkeologi Medan) mempersiapkan berbagai peralatan, seperti patok – patok kecil yang diberi warna merah, putih dan hitam.

    Selain itu, tali dan berbagai peralatan digital untuk keperluan arkeologi dibawa dan dipersiapkan tim arkeologi yang dipimpin Ketut. Setelah menentukan koordinat, cekatan tim ini merangkai tali, memasang patok disepanjang ceruk Mendale.

    Penelitian arkeolog, begitu Ketut menyebutnya, setelah di Tahun 2007 lalu melakukan survei. Hasil survei kala itu, Ketut menprediksi tiga tempat yang diduga pernah dihuni manusia.

    Tempat tersebut adalah Ceruk Mendale, Putri Pukes dan Loyang Datu di Kecamatan Linge.

    Pada Jum’at (6/3) lalu, Tim Arkeologi Medan dipimpin Ketut mulai melakukan eksavasi. Menurut Ketut, eksavasi atau penggalian dilakukan guna memastikan peradaban sebuah komunitas manusia dengan sisa –sisa peninggalan mereka. Di hari pertama saja, tim Balar Medan ini sudah menemukan fragmen (potongan) gerabah, tulang, batu berbentuk kapak yang diduga kapak batu, dan kerang.

    ”Potongan gerabah yang ditemukan ada dua macam, gerabah biasa dan gerabah ukir. Melihat gerabah ini, berasal dari kehidupan baru,” ujar Ketut.

    Semua bagian yang sudah diplot untuk dieskavasi dilakukan penggalaina dengan hati-hati. Tidak ada bagian tanah yang digali tidak diperiksa. Ketut memperhatikan secara seksama setiap kali ada penemuan benda. Sesekali Ketut membersihkan temuan dengan kuas atau sikat gigi seraya terus menatapnya.

    Semua benda yang ditemukan, ditempatkan dalam plastik yang telah diberi label. Difoto, dikumpulkan dan ditentukan titik koordinatnya. Selain dicatat secara teliti dan akurat, seorang peneliti terlihat membuat peta ceruk dan titik penggalian.

    Dijelaskan Ketut, sebelum ke Takengon, Balar Medan melakukan penelitian di Tanjung Pinang Kabupaten Bintan yang sangat disupport oleh Pemkab setempat. Sebelumnya, Balar medan juga melakukan penelitian atau eskavasi di Aceh Tamiang dan menemukan kehidupan prasejarah 7.000 tahun lalu, tepatnya, 7080 M.

    Menueurt Ketut, barang-barang yang ditemukan bisa menunjukkan bagaimana sebuah komunitas manusia hidup. Bisa menunjukkan masa dan budaya. Namun untuk bisa menentukan umur dari semua penemuan, Balar Medan bekerjasama dengan Badan Tenaga Atom Nasional (Batan).

    Dijelaskan Ketut, situs sejarah akan sangat menarik bagi wisatawan. Adanya penelitian ini diharapkan Ketut menjadi pendukung pariwisata alam gayo uyang indah, seperti Danau yang menjadi satu kesatuan.

    Tinggal bagaimana mensikapinya. Namun Ketut sempat menyatakan kekecewaannya. Karena dibagian Timur Ceruk Mendale ada bagian yang sudah dibuldozer sehingga bagian situs rusak bahkan hancur.

    ”Seharusnya tidak sembarangan melakukan pengerukan. Karena sElain merusak ekosistim, juga merusak pemandangan. Penngerukan ini telah menghancurkan satu bagian situs. Sangat disayangkan,” tegas Ketut yang menilai Dataran Tinggi Gayo sangat indah dan menarik dikunjungi. Tinggal mengelola aset yang yang sangat berharga ini .

    Ketut dan timnya berharap eksavasi di Ceruk Mendale mendapat hasil yang signifikan. ”Mudah-mudahan ada penemuan jaman prasejarah ribuan tahun lalu,” kata Ketut. (win)

    win

    Maret 10, 2009 at 5:14 am

  5. CANDI PENINGGALAN MELAYU TAK DIPUGAR DI RANTAU LIMAU MANIS

    Di Desa Rantau Limau Manis Kecamatan Tabir Ilir Kabupaten Merangain juga terdapat sebuah candi peninggalan zaman Hindu-Budha yang dibuat kira-kira tahun 1100 M, hal ini terungkap ketika pembukaan jalan baru pada tahun 2007 dari Rantau Limau Manis ke daerah terisolir Rantau Palembang. buldozer yang meng…erjakan jalan tidak sengaja menemukan batu bata candi tersebut..

    konon kata masyarakat setempat daerah tersebut merupakan desa yang dulu dihilangkan oleh Puyang Koto Rayo dan sebagian besar penduduknya pindah ke Rantau Panjang, Kecamatan Tabir dan menetap hingga sekarang.. daerah atau candi tersebut sangat kuat kaitannya dengan sejarah orang-orang yang ada sepanjang sungai Tabir Kabupaten Merangin. namun hal ini tidak pernah di lakukan tindak lanjut yang real terhadap aset purbakala tersebut..

    salmantabir

    Juli 18, 2010 at 3:36 am

  6. Saya suka sekali membaca artikel ini. Sebagai seorang PNS di Biro PKLN Kemdikbud RI, saya ikut membantu pekerjaan2 menyangkut kerja sama luar negeri di bidang pendidikan dan kebudayaan pada ranah bidang yang luar biasa luasnya, termasuk pada bidang arkeologi.

    Sebagai informasi, saat ini kami sedang dalam proses penyusunan naskah MoU dengan pemerintah Peru dalam rangka menjajagi kerja sama di bidang kebudayaan, termasuk arkeologi. Peru adalah negara dengan kekayaan situs arkeologi yang sudah lama diminati para arkeologi dari negara – negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jerman. Saya sendiri memimpikan seandainya minat studi arkeologi ini juga bisa ditularkan ke Indonesia, mengingat saat ini Kemdikbud RI juga sedang mendorong pengembangan Indonesian Studies di dalam dan luar negeri.

    Selain bekerja sebagai PNS di Kemdikbud, saya juga seorang akademisi di program Pascasarjana Kajian Wilayah Amerika (American Studies) UI. Dalam masa studi, saya mempelajari bagaimana kemajuan teknologi suatu bangsa juga dapat dikembangkan dari hasil studi arkeologi. Sudah banyak sekali publikasi yang mengungkap bahwa piramida, monolith, dan struktur bangunan sisa-sisa peninggalan peradaban ribuan bahkan belasan ribu tahun yang lalu adalah suatu sistem teknologi pembangkit energi. Apabila perspektif ini bisa diterima oleh kalangan akademisi perguruan tinggi di Indonesia, maka minat studi arkeologi seharusnya bisa berkembang lebih luas karena negara qt sangat kaya dengan situs arsitektur purbakala. Studi arkeologi nasional ini juga akan sejalan dengan kebutuhan akan kontribusi interdisipliner dalam mengembangkan Indonesian Studies. Pemanfaatanya pun sangat luas, mulai dari penyediaan komoditas film2 nasional sbg sarana hyper mediated reality untuk menarik minat masyarakat luas, hingga kepada pengembangan studi2 lain, termasuk anthropologi budaya dalam rangka mengkaji asal usul kebudayaan kita, seni arsitektur nasional, local engineering, dll.

    Semoga bergabungnya kembali balai arkeologi ke Kemdikbud dapat mendorong terciptanya sinergi antara studi arkeologi dan kemajuan peradaban nasional Indonesia, khususnya melalui Jejaring media kerja sama dengan seluruh lembaga pendidikan tinggi di Indonesia.

    Rekso Grahara

    Agustus 7, 2013 at 6:14 am


Tinggalkan Balasan ke Rekso Grahara Batalkan balasan