Karya Tulis Para Peneliti Balai Arkeologi Medan

Just another WordPress.com weblog

MAKNA DAN FUNGSI BEBERAPA STEMPEL DAN MATERAI KUNA DARI ACEH DAN RIAU

with 6 comments

Ery Soedewo
Balai Arkeologi Medan

Abstract
Stamps and Seals are tools that used as a decisive validity of issued by the empire, institution, trading house and individual. Its existence was the evidence of the authority legitimation, as a symbol that there was a confermed a nobility’s degree upon a foreigner and also showed the changing of the bureaucracy structure because of the new political power.

Kata kunci: Alat, tera, validitas, legitimasi, simbol

I. Pendahuluan
I.1. Stempel/Cap/Meterai
Hingga kini belum banyak tulisan yang membahas tentang stempel, cap, atau meterai dalam dunia arkeologi Indonesia, meskipun disadari arti pentingnya bagi pengungkapan sejumlah aspek kehidupan manusia masa lalu berkaitan dengannya. Sebab hasil teraan benda ini di atas permukaan benda lain (kertas) merupakan tanda sah setiap keputusan, maklumat, atau pun perjanjian dengan pihak lain secara resmi (Sudewo, 1989:52).
Sebelum membahasnya lebih jauh perlu diketahui terlebih dahulu batasan pengertian dari objek yang akan dibahas dalam tulisan ini yang berupa stempel/cap/meterai. Dapat dikatakan stempel atau cap merupakan alat atau benda yang digunakan untuk menerakan bentuk-bentuk atau tulisan tertentu di atas permukaan suatu benda yang berfungsi sebagai penentu validitas yang dikeluarkan oleh kerajaan, lembaga, kongsi dagang, maupun perorangan (Sudewo, 1989:53). Sedangkan meterai merupakan hasil teraan dari cap atau stempel yang berupa gambar maupun tulisan pada lak, lilin, atau timah, yang biasanya dilekatkan pada surat-surat penting sebagai bukti keabsahannya (Sudewo, 1989:53).
Penyebutan lain dari meterai adalah segel atau seal dalam bahasa Inggrisnya, yang berasal dari bahasa Latin sigillum yang artinya sah (Sudewo, 1989:53). Benda yang membentuk segel disebut stempel atau cap merupakan suatu bentuk kreasi seni ukir, gambar, paduan huruf atau kata, dibuat dari bahan yang keras seperti logam maupun batu-batu mulia dan dibentuk sedemikian rupa sehingga memiliki desain tertentu pada permukaannya (Sudewo, 1989:54).
Sejarah kemunculan segel atau meterai dapat dirunut sejak masa Cina, Mesir, dan Romawi Kuna. Munculnya meterai atau segel segera disusul oleh lahirnya beberapa bentuk persimbolan baru, yang berupa (Sudewo, 1989:55):
a) Lambang kerajaan atau keluarga bangsawan di Eropa yang ditampilkan pada sebentuk bendera, perisai, serta pakaian perang;
b) Bentuk tanda tangan, yang merupakan bentuk penyederhanaan dari perpaduan huruf atau desain yang rumit dalam meterai;
c) Meterai tempel, yaitu meterai berbahan kertas yang ditempelkan pada media yang akan diabsahkan;
d) Kertas bersegel, yakni kertas yang sudah dicantumi segel sedari awal pencetakannya.
Keempat bentuk persimbolan baru hasil perkembangan meterai tersebut, sampai saat ini masih memperlihatkan perannya. Lambang kerajaan saja sudah berkembang menjadi lambang negara baik dalam bentuk bendera maupun dalam tampilan gambar. Sementara tanda tangan, meterai tempel, dan kertas segel memainkan peran yang juga tidak kalah pentingnya terutama dalam fungsinya sebagai pengesah suatu keputusan, perjanjian, kontrak, serta surat-surat penting lainnya (Sudewo, 1989:55–56).
I.2. Kilas Sejarah Aceh dan Riau
I.2.1. Aceh
Sekitar abad ke-19, menjelang invasi Belanda terhadap Aceh, nama “Tanah Aceh” dipakai untuk menunjukkan seluruh daerah yang membentang dari ujung utara pulau Sumatera hingga suatu garis khayal yang menghubungkan Tamian di pantai timur dengan Barus di pantai barat (Lombard, 2006:29). Menurut Snouck Hurgronje penduduknya membandingkan bentuk wilayah mereka yang kira-kira menyerupai segitiga dengan bentuk jeuèë atau tampah tradisional (Lombard, 2006:29). Sementara sungai yang melintasi ibu kota diberi nama Kreuëng Aceh (Sungai Aceh), sedangkan permukiman utama dinamakan Kuta Raja (Benteng atau Kota Raja) (Lombard, 2006:29).
Namun, pada abad ke-17 penyebutan Aceh atau lengkapnya Aceh Darussalam lebih mengacu pada kotanya, yang boleh dikatakan dengan kesadaran disebabkan oleh perluasan maknanya maka nama itu digunakan untuk seluruh wilayah kerajaan sebagaimana halnya penyebutan Banten yang sebenarnya lebih mengacu pada nama kotanya namun juga digunakan untuk menyebut seluruh wilayah kekuasaannya (Lombard, 2006:29).
Ketika Tome Pires menuliskan bukunya Suma Oriental (abad ke-16), disebutkannya ada tiga kerajaan di ujung utara Pulau Sumatera yakni Pasai, Pedir, dan Aceh sebagai kerajaan yang termuda, dibanding dua yang disebut terdahulu. Awal kebangkitan kerajaan Aceh antara lain juga diuntungkan oleh kondisi politik yang berkembang di sekitar Selat Malaka sejak jatuhnya kerajaan Malaka pada tahun 1511 ke dalam genggaman Portugis. Sejak dikuasainya dua pelabuhan penting tersebut oleh bangsa Portugis maka perdagangan lada yang sebelumnya berada di kedua pelabuhan itu pun beralih ke pelabuhan-pelabuhan di Sumatera. Salah satu alasan beralihnya para pedagang lada itu dari Malaka ke pelabuhan-pelabuhan di Sumatera adalah faktor agama. Para pedagang lada yang sebagian besar datang dari Timur Tengah kebanyakan adalah kaum muslim yang merasa tidak nyaman sejak dikuasainya Malaka oleh penakluk-penakluk dari Iberia (Spanyol/Andalusia) yang notabene adalah kaum kristen, dan belum lama berselang mengusir pemerintahan Islam terakhir di semenanjung tersebut (penaklukan Granada pada 1492 M).
Salah seorang raja di pantai Sumatera itu yakni raja Aceh mengambil kesempatan baik ini. Dia mencoba menggabungkan beberapa pelabuhan dagang di sekitarnya di bawah kekuasaannya dengan maksud agar lalu lintas di Selat Malaka dapat diawasi dan dikuasainya. Oleh Pires diceritakan bahwa raja Aceh itu beragama Islam dan gagah perkasa di antara tetangganya. Dia memiliki 30 sampai 40 perahu lancara (Pires,1520:395). Raja yang disebut-sebut oleh Pires tersebut dalam kronik-kronik Aceh adalah Ali Mughayat Syah. Beliaulah raja yang berhasil menaklukkan Deli, Daya, Pidir, dan Pasai (1524); dan armadanya pula yang berhasil mengalahkan armada Portugis yang dipimpin oleh Jorge de Brito pada bulan Mei 1521 di Selat Malaka (Lombard,2006:65).
Puncak kejayaan Aceh dicapai ketika diperintah oleh seorang sultan yang dikenal dalam kronik-kronik Aceh sebagai Sultan Iskandar Muda. Pada masanya kontak dengan berbagai bangsa asing yang berdagang di Aceh tampak semakin meningkat. Hal itu terutama didorong oleh tingginya permintaan para pedagang asing terhadap lada. Dalam kontak dengan bangsa-bangsa asing inilah upacara-upacara penyambutan kerajaan diadakan secara meriah, yang rinciannya dapat diketahui dari berbagai tulisan para pendatang mancanegara itu. Kebangsaan mereka sangat beragam, mulai dari orang-orang Eropa utara seperti bangsa Denmark, orang-orang Eropa selatan seperti orang Perancis dan Portugis, tidak ketinggalan bangsa Belanda,
serta bangsa Inggris dari Kepulauan Britania. Kedatangan para pedagang asing tersebut seringkali disertai dengan surat resmi dari pemimpin negara masing-masing. Dalam surat-surat resmi itu selain terdapat tulisan-tulisan sebagai wujud rekaman ungkapan sang raja, juga diterakan pula meterai hasil teraan cap atau stempel sebagai simbol dan bukti otensitas dan keabsahan surat tersebut.
Sisa-sisa kejayaan Aceh yang mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-17, ternyata masih dirasakan oleh para pedagang asing yang datang ke kerajaan ini untuk berdagang pada abad ke-18. Hal ini dibuktikan oleh sejumlah laporan dari para pedagang asing yang disambut dengan upacara kebesaran ketika datang sebagaimana sambutan kebesaran yang diterima oleh para pedagang asing di abad sebelumnya.
I.2.2. Daerah Riau Pada Masa Hindia Belanda
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda daerah Riau berada di bawah beberapa daerah administrasi yang berbeda yakni (Proyek Penelitian 1977/1978:157):
1. Daerah Residentie Riouw en Onderhorigheden yang meliputi wilayah Afdeeling Riouw Archipel dan Afdeeling Inderagiri. Residensi ini beribukota di Tanjungpinang.
2. Daerah Afdeeling Bengkalis yang merupakan bagian dari Gouvernement Sumatra’s Oostkust yang semula beribukota di Bengkalis kemudian dipindahkan ke Medan.
3. Onderafdeeling Bangkinang yang merupakan bagian dari Afdeeling Limapuluh Kota yang menjadi bagian dari Gouvernement Sumatra’s Westkust yang beribukota di Padang.
Pada tahun 1938 Afdeeling Bengkalis menjadi bagian dari Residentie Riouw en Onderhorigheden yang beribukota Tanjungpinang, sementara Bangkinang tetap menjadi bagian Gouvernement Sumatra’s Westkust. Setelah beberapa kali terjadi perubahan pembagian daerah administrasi, daerah-daerah yang termasuk dalam Residentie Riouw en Onderhorigheden akhirnya dibagi menjadi sebagaimana disebut berikut hingga kejatuhan Hindia Belanda tahun 1942, yang terdiri dari (Proyek Penelitian 1977/1978:157–159):
1. Rechstreeks Bestuursgebied (daerah yang langsung diperintah Belanda), yakni:
a. Seluruh Afdeeling Tanjungpinang.
b. Reteh, Mandah, Gaung, dan Kateman.
c. Ulu Teso dan Pucuk Rantau Inderagiri.
d. Pulau Bengkalis.
e. Onderafdeeling Bangkinang.
2. Kerajaan Siak Sri Inderapura, yang dibagi menjadi beberapa district dan onderdistrict yakni:
a. District Siak yang terdiri dari onderdistrict
b. District Senapelan yang terdiri dari onderdistrict
c. District Tebing Tinggi yang terdiri dari onderdistrict
d. District Bukit Batu yang terdiri dari onderdistrict
e. District Bagan Siapi-api yang terdiri dari onderdistrict
3. Kerajaan Pelalawan terbagi atas:
a. District Langgam
b. District Pangkalan Kuras
c. District Bunut
d. District Serapung
4. Kerajaan-kerajaan Rokan, Kunto Darussalam, dan Rambah Tambusai (Rokanstreken).
5. Kerajaan Gunung Sahilan.
6. Kerajaan Singingi.
7. Kuantan yang terbagi atas beberapa district yakni :
a. District IV Koto di Hilir
b. District V Koto di Tengah
c. District V Koto di Mudik
d. District IV Koto di Mudik
e. District III Koto
8. Kerajaan Inderagiri yang dibagi menjadi beberapa district dan onderdistrict yakni:
a. District Rengat
b. District Siberiberia
c. District Peranap
d. District Kelayang
e. District Tembilahan
f. District Tempuling
g. District Enok
h. District Sungai Luar
Pembagian Riau menjadi beberapa daerah administrasi oleh pemerintah Hindia Belanda, tidak mempengaruhi secara langsung sistem pemerintahan tradisional yang telah ada. Hal ini dikarenakan aparat pemerintahan Hindia Belanda hanya berfungsi sebagai pengawas dan pengontrol terhadap pemerintahan kerajaan. Sedangkan pemerintahan dalam kerajaan masih dijalankan langsung oleh sultan atau raja maupun orang gedang menurut hirarkhi kerajaan sendiri, sehingga sebagian besar rakyat tidak menyadari adanya pemerintahan Hindia Belanda (Proyek Penelitian 1977/1978:159).
Sultan atau raja merupakan hakim tertinggi dan pengadilan tingkat bawah dipegang oleh para kepala district dan onderdistrict sesuai menurut tingkatannya. Ketua pengadilan tertinggi atau disebut Kerapatan Tinggi adalah sultan atau raja. Kerapatan district diketuai oleh districthoofd (Proyek Penelitian 1977/1978:159–160). Selain itu terdapat pula pengadilan syarak dan musyawarah adat yang dipimpin oleh para pemuka adat. Selain hukum adat berlaku juga Kitab Undang-Undang Hukum Belanda. Meskipun para raja maupun kepala district memegang kekuasaan pemerintahan, kekuasaan yudikatif dan kepolisian, namun kekuasaan legislatif dan militer dipegang oleh pemerintah Hindia Belanda (Proyek Penelitian 1977/1978:159–160).

II. Cap dan Meterai dari Aceh dan Riau
II.1. Cap Kesultanan Aceh
Berdasarkan sepucuk surat yang ditulis oleh Pangeran Maurits van Nassau kepada Sultan Aceh pada bulan Desember 1600, yang dua tahun kemudian dikembalikan –sebagai bukti bahwa surat tersebut telah diterima Sultan Aceh- bersamaan dengan kedatangan utusan Aceh (masa Alauddin Ri’ayat Syah) diketahui bahwa pada surat tersebut selain diterakan cap Pangeran van Nassau terdapat juga cap berbentuk lingkaran dengan nama Alauddin Ri’ayat Syah di dalamnya (Lombard, 2006:117). Pada abad ke-19 Sultan Aceh memakai cap yang bentuknya lebih canggih yang disebut cab sikureung (cap sembilan) yang mencantumkan nama sembilan orang sultan dalam lingkaran-lingkaran dengan nama sultan yang sedang memerintah berada pada lingkaran di tengah. Nama-nama sultan yang tercantum dalam cap itu adalah (Tim, 1995:i):
1. paling kiri bawah “Sultan Sayyid al-Mukamal” Alauddin al-Qahhar memerintah 1530–1557 (Sultan ke-3)
2. paling kiri “Sultan Makuta Alam” Iskandar Muda memerintah 1607–1636 (Sultan ke-11)
3. samping kiri atas “Sultan Tajul Alam” sultan perempuan pertama Aceh memerintah 1641–1675 (Sultan ke-13)
4. paling atas “Sultan Ahmad Syah” gelar Maharaja Lela raja dinasti Aceh-Bugis memerintah 1723 –1725 (Sultan ke-20)
5. samping kanan atas “Sultan Juhansyah” gelar putra Raja Muda memerintah 1735–1760 (Sultan ke-21)
6. paling kanan “Sultan Mahmud Syah” Sultan Muhammad atau Mahmud Syah I cucu Sultan Ahmad Syah memerintah 1760–1763 (Sultan ke-22)
7. samping kanan bawah “Sultan Jauhar Alam Syah” cicit sultan Ahmad Syah memerintah 1795–1824 (Sultan ke-25)
8. paling bawah “Sultan Matdlur Syah” (Sultan ke-28)
9. di tengah-tengah “Waffaqa-Allah Paduka Sri Sultan” yang dimaksud adalah Sultan Alauddin Muhammad Syah Jauhan Berdaulat zil-Allah fil A’lam (Sultan ke-30) memerintah 1879–1903.
Selain dimiliki oleh penguasa utama Aceh tampaknya sultan Aceh juga pernah memberikan cap kepada beberapa orang asing sebagai simbol persahabatan antara sultan Aceh dengan orang-orang asing tersebut. Salah seorang dari sedikit yang beruntung itu adalah Thomas Forrest, seorang kapten dalam Kompeni India Timur Inggris (English East India Company). Selama lebih dari tigapuluh tahun (sejak tahun 1751) karirnya di kompeni dagang Inggris tersebut, Forrest telah banyak mengunjungi berbagai tempat di berbagai pulau di perairan Asia Tenggara, termasuk pula ke Aceh serta bandar-bandar yang berada di bawah kekuasaannya antara tahun 1762 hingga 1784. Pada kunjungannya yang terakhir itulah (1784) Forrest mendapat kesempatan bertemu dengan penguasa Aceh saat itu yang bernama Sultan Oola Odine (pen. Sultan Alauddin Muhammad Syah), bahkan dianugerahi gelar kebangsawanan serta cap emas sebagai simbolnya. Forrest menceriterakan proses penganugerahan yang terjadi tiga atau empat hari sebelum keberangkatannya meninggalkan Aceh sebagai berikut (Robson, 1792:47, 51–57 dalam Reid, 1995:225–226)
“three or four days before my departure, Posally (pen. Abu Salih nama syahbandar Aceh) signified to me the king meant to confer on me the honour of being made Knight of the Golden Sword, Oran Cayo derri piddang mas (pen. Orang Kaya dari/diberi(?) Pedang Emas); … this honour had also been conferred on two North Britons, Captain Douglass Richardson and Captain Robert Smart. … Posally desired I would write my name on a slip of paper; I wrote it in capitals, which he pronounced after my Reading it, and writing himself my name in Arabic characters, signified it was to direct the goldsmith who was to make the chapp (pen. cap). Two or three days afterwards, I was desired by a Seapoy (pen. prajurit bayaran Sepoi/India) serjeant to go to the palace. … The king, from the alcove above after some little coversation with his courtiers below, spoke to Posally in the Atcheen tongue, who stepping towards me, put a small chain of gold over my head, round my neck, to which the golden chapp with fillagree (pen. kaligrafi) writing in Arabic, and the figure of a waved dagger in relief,…

Hal menarik lain dari terbitan kisah perjalanannya di Aceh tersebut, adalah terdapatnya gambar cukilan yang merepresentasikan sosok Thomas Forrest dengan latar belakang berupa pantai dengan perahu-perahu layar, serta cap yang diterimanya dari sultan Aceh yang digantungkan pada dinding kayu. Pada gambar tersebut dapat dibaca dengan cukup jelas kaligrafi Jawi (Arab Melayu) yang diterakan pada cap emas tersebut yakni, Inilah cap dikarunia di Bandar Aceh Darussalam dan Syahbandar rajahkan Kapten Thoma Furas, di bagian terbawahnya diterakan gambar pedang (Robson,1792 dalam Reid, 1995:225).
II.2. Beberapa Cap dan Meterai di Riau
II.2.1. Kecamatan Mandah, Kab. Indragiri Hilir
Melalui hasil teraan stempel/meterai pada beberapa surat/dokumen yang berada di tangan Lurah Mandah, Junaidi Ismail S. Sos., dapat diketahui status administratif Mandah pada awal abad ke-20 (Koestoro & Wiradnyana, 2000 hlm:23–24):
1. Meterai beraksara Jawi (Arab Melayu) pada sebuah surat berbunyi: bahwa ini karenanya keterangan Amir di Manda Sungai Khairiah 1305 H (1887/1888 M) sah.
2. Surat beraksara Jawi (Arab Melayu) berangka tahun 1322 H (1904/1905 M) yang meterainya menyebutkan Sultan Daik Lingga Reow.
3. Surat beraksara Jawi (Arab Melayu) berangka tahun 1329 H ( = 1911 M) yang meterainya menyebutkan Ketrangan Amer Manda.
4. Surat berhuruf Latin berangka tahun 1919 yang meterainya menyebutkan Districtshoofd Lingga.
5. Surat berangka tahun 1926 yang merupakan surat pemberitahuan izin mengerjakan tanah. Meterainya menyebutkan Districtshoofd Manda Gaoeng. Saat itu Manda Gaoeng merupakan distrik dari Lingga Riau di bawah Sri Paduka Tuan Besar Residen Riau dan Lingga serta daerah taklukannya.
6. Soerat Grant berangka tahun 1927 yang menyebutkan bahwa Distrik Mandah berada di bawah Afdeling Indragiri Riow dan merupakan daerah kekuasaan Residentie Riow.
II.2.2. Kecamatan Singingi, Kab. Kuantan Singingi
Cap Bendahara Muhammad Thoyyib
Seperti halnya sebuah cap/stempel, bentuknya terbagi atas dua bagian yaitu bagian icap dan bagian pegangan. Bagian isi/cap memiliki diameter 3,9 cm, 0,3 cm diantaranya merupakan dua buah garis melingkar membatasi bagian isi pertulisan dengan bagian hiasannya. Di luar lingkarannya berhiaskan seperti pucuk bawang, sepintas pada bagian cap ini berbentuk seperti sebuah bunga dengan 8 buah kelopak yang dibentuk dari sebuah garis. Dua buah garis yang melingkar sebagai pembatas antara bidang tulisan dan kelopak pada bagian dalamnya berhiaskan sulur-suluran. Bagian pegangannya memiliki panjang 2,5 cm dan diameter 2 cm. Pertulisan yang ada didalamnya menggunakan huruf Arab berbahasa Melayu yang menyebutkan:

Allah Raja Bendahara
Muhammad Thoyyib bin Daulat
Wakil Pengutus Ratu Negeri
Dibawah/dibuat (?) Penjaga Negeri
Muara Lembu
1205

Pada bagian pegangannya berbentuk bulat panjang dan di bagian dalamnya berlubang.
Cap Bendahara Rifin
Bentuknya hampir sama dengan yang besar, dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian cap dan bagian pegangan. Pada bagian isi/cap bentuk dasarnya berupa lingkaran dengan diameter 3,3 cm dan hiasan pinggirnya menyerupai setengah lingkaran dengan hiasan lainnya berupa sulur suluran. Pada bagian tangkainya panjangnya 1,7 cm dan diameter tangkai 2 cm. Cap Kerajaan ini bentuknya lebih raya dibandingkan dengan Cap Kerajaan yang besar. Pada bagian pertulisannya menggunakan aksara Arab berbahasa Melayu menyebutkan:

Bendahara
Rifin bin
Intan Suasa
Muara Lembu
1288

II.3. Kabupaten Kepulauan Natuna
Peninggalan Datuk Kaya Wan Muhammad Benteng disimpan oleh warisnya Wan Syawal. Benda berbahan tembaga berbentuk lonjong (terpanjang 8 cm terlebar 7 cm) dan pipih. Bagian atasnya terdapat pertulisan Jawi (Arab Melayu) sebanyak lima baris horisontal. Masing-masing baris dibatasi garis horisontal dua baris di bawahnya (Susilowati, 2005 hlm: 24):
karunia ke bawah duli yang maha
mulia serta Yang Dipertuan Riau kepada Orang Kaya
Dana Mahkuta yang menertibkan titah perintah
kitar dalam daerah keliling pula(u) Bunguran
Sanat 1210

III. Makna dan Fungsi
Stempel atau cap dari bahan batuan mulia sering digunakan oleh raja maupun pejabat kerajaan. Selain berfungsi sebagai tanda keabsahan dokumen cap juga merupakan simbol prestise kedudukan seseorang, sehingga dibuatlah cap dalam bentuk cincin. Sebab, cincin yang melingkar pada jari mudah terlihat hingga kedudukan pemakainya dapat dengan mudah diketahui bahwa dirinya adalah orang berkedudukan penting (Sudewo, 1989:54). Namun bila ditinjau dari segi kepraktisan, hanya dengan menekankan cincin maka tercetaklah meterai di atas permukaan kertas maupun lilin yang masih lembek.
Dalam hal ini meterai merupakan bentuk pengganti yang mewakili kehadiran seseorang, pejabat, raja, atau pihak dan lembaga tertentu. Karenanya materai menjadi unsur penting yang harus dimiliki, terutama dibutuhkan dalam kaitannya dengan pengadaan surat-surat penting seperti surat keputusan atau kontrak perjanjian. Pembubuhan meterai dimaksudkan untuk membuktikan keabsahan dokumen yang dikeluarkan, menjamin keamanan seperti mencegah dipalsukannya dokumen. Dalam perkembangan lebih lanjut meterai atau segel bahkan berfungsi mencegah dibukanya dokumen, amplop, dan pintu yang telah disegel.
Fungsi mengesahkan artinya menjadi tanda berlakunya isi dokumen. Dalam kontrak perjanjian, pihak-pihak yang telah membubuhkan meterai sepakat memberlakukan isi dokumen sesuai dengan konsesus. Tanpa kehadiran meterai, tentu saja dokumen tidak sah dan isinya tidak dapat diberlakukan. Jadi meterai mutlak dibutuhkan untuk mendukung dokumen.
Bentuk meterai sendiri merupakan acuan dari latar belakang mental si pemesan atau pembuatnya. Karakteristik atau watak pemiliknya dapat tercermin melalui tampilan nilai-nilai simbolis yang terkandung dalam bentuk-bentuk tertentu. Seperti digunakannya kaligrafi Arab merupakan wujud ketaatan religi dari si pemilik stempel untuk tidak menggambarkan bentuk-bentuk mahluk hidup (manusia dan hewan). Oleh karena itu tidak mengherankan ketika pola-pola geometris serta kaligrafi (Arab) mendominasi bentuk-bentuk yang digambarkan dalam stempel atau cap di Aceh dan Riau. Sebab daerah ini setidaknya sejak abad ke-15 merupakan daerah pengaruh dari Kesultanan Malaka yang juga menjadi pusat dakwah Islam di Kepulauan Nusantara.
Hal menarik lain yang dapat diungkap dari cap/stempel serta meterai dari Aceh dan Riau ini adalah gambaran umum kondisi politik yang tersurat lewat penyebutan penguasa atau aparat birokrasi yang mengeluarkannya beserta angka tahun yang diterakannya. Seperti tampak pada meterai-meterai hasil teraan stempel pada lembaran kertas yang berada di tangan Lurah Mandah. Meterai berangka tahun 1305 H/1887 M, yang dikeluarkan oleh Amir Manda beraksara Arab serta berbahasa Melayu; meterai berangka tahun 1322 H/1904 M juga beraksara Arab serta berbahasa Melayu, menyebutkan Sultan Daik Lingga Reow (Riau); dan meterai berangka tahun 1329 H/1910 M, masih menggunakan aksara Arab dan berbahasa Melayu, yang di dalamnya menyebutkan Amir Manda. Jadi ketiga meterai itu memiliki kesamaan yakni menggunakan aksara Jawi (Arab Melayu). Namun, lihat pada meterai-meterai berangka tahun lebih muda yang juga berasal dari bekas Keamiran Mandah/Manda, tampak jelas perbedaannya, sebab telah menggunakan huruf latin dan bahasa Belanda. Nama jabatan untuk daerah Manda bukan lagi Amir tetapi Districthoofd seperti tampak jelas pada surat berangka tahun 1926 dengan meterai menyebutkan Districtshoofd Manda Gaoeng, serta pada surat berangka tahun 1919 yang meterainya menyebutkan Districtshoofd Lingga. Perbedaan tersebut muncul disebabkan oleh perubahan struktur birokrasi yang terjadi karena berpindahnya kekuasaan politik yang sebelumnya di bawah kontrol para penguasa pribumi (sultan-sultan Melayu) kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Stempel atau cap juga berfungsi sebagai alat legitimasi penguasa yang mengeluarkannya. Hal demikian terlihat pada pertulisan yang diterakan pada cap Sikureung dari kesultanan Aceh Darussalam. Untuk menunjukkan bahwa yang mengeluarkan cap tersebut adalah penguasa sah dari kesultanan tersebut, diterakannya juga delapan nama sultan-sultan pendahulunya, yang memiliki kaitan langsung dengannya.
Selain itu, stempel atau cap juga bermakna sebagai bentuk penghormatan terhadap para duta maupun pedagang asing yang dianggap turut berjasa bagi kemajuan kerajaan, sekaligus menunjukkan kedekatan hubungan antara si pemberi dengan si penerima. Hal demikian terlihat pada dianugerahkannya cap sebagai perwujudan dari gelar kebangsawanan yang diterima oleh Kapten Thomas Forrest serta dua orang Inggris lainnya yakni Kapten Douglass Richardson dan Kapten Robert Smart dari Sultan Alauddin Muhammad Syah saat berkunjung ke kesultanan Aceh Darussalam.

IV. Penutup
Cap dan meterai merupakan merupakan alat atau benda yang digunakan untuk menerakan bentuk-bentuk atau tulisan tertentu di atas permukaan suatu benda yang berfungsi sebagai penentu validitas yang dikeluarkan oleh kerajaan, lembaga, kongsi dagang, maupun perorangan. Selain itu cap dan segel juga merupakan alat legitimasi kekuasaan bagi penguasa yang mengeluarkannya, sebagaimana terlihat pada cap sikureung (cap sembilan) dari Aceh. Fungsi lain yang dapat diungkap dari keberadaan cap adalah sebagai simbol dari dianugerahkannya gelar kebangsawanan pada orang asing, sebagaimana terjadi di kesultanan Aceh Darussalam. Keberadaannya dapat juga dijadikan sebagai bukti terjadinya perubahan struktur birokrasi yang terjadi karena berpindahnya kekuasaan politik dari penguasa sebelumnya ke bentuk kekuasaan politik yang lain sebagaimana terlihat pada cap serta meterai dari Riau.

Kepustakaan
Sudewo, Eri, 1989. Refleksi Meterai Dalam Hubungan Antarnegara dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi V. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1977/1978. Sejarah Daerah Riau. Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Koestoro, Lucas Partanda & Ketut Wiradnyana, 2000. Laporan Penelitian Arkeologi: Penelitian Arkeologi di Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau. Medan Balai Arkeologi Medan
Lombard, Denys, 2006. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607–1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Forum Jakarta Paris, École française d’Extrême-Orient
Robson, J. 1792. Thomas Forrest, A Voyage from Calcutta to The Mergui Archipelago. London: J. Robson
Reid, Anthony, 1995. Witnesses to Sumatra A Travellers Anthology. Kuala Lumpur: Oxford University Press
Susilowati, Nenggih, 2005. Laporan Penelitian Arkeologi: Penelitian Arkeologi di Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau. Medan Balai Arkeologi Medan
Tim, 1995: Buku Objek Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Aceh: Cab Sikureueng Segel Sultan Aceh. Banda Aceh: Perkumpulan Pecinta Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Aceh (P3SKA)

Written by balarmedan

Mei 2, 2008 pada 2:30 am

Ditulis dalam Ery Soedewo,M.Hum.

6 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. Sungguh menarik tulisan Bapak Eri Sudewo. Sudah agak lama saya membuat kajian tentang cap/stempel kerajaan Melayu Nusantara, tidak ada rekan untuk diajak bertukar fikiran, baru sekarang saya sedar ada peminat cap yang lain! Silahkan Bapak hubungi saya secara langsunga supaya kita boleh berkomunikasi.

    Annabel Gallop

    Mei 6, 2008 at 1:22 pm

  2. apakah boleh tahu, posisi anda sekarang dimana Sdr. Annabel Gallop ?

    balarmedan

    Mei 7, 2008 at 7:33 am

  3. nusantaraempire.wordpress.com

    Panglima Bumi Sakti

    Juli 29, 2008 at 11:32 am

  4. Saya masih berjabat sebagi kurator koleksi Melayu dan Indonesia di Perpustakaan Nasional Inggeris, iaitu British Library, di London. Pada tahun 2002 saya menulis disertasi berjudul ‘Malay seal inscriptions: a study in Islamic epigraphy from Southeast Asia’ (SOAS, University of London), yang didampingi katalog lebih dari 1,500 cap Melayu dari seluruh Nusantara, termasuk lebih dari 500 cap dari Aceh. Silahkan pak Eri menghubungi saya secara langsung dengan alamat annabel.gallop@bl.uk

    Annabel Gallop

    Januari 14, 2009 at 1:10 pm

    • Pesan anda sudah kami sampaikan kepada rekan kerja kami Pak Eri Soedewo. Mungkin dia akan segera berkorespondensi dengan anda. Terima Kasih

      balarmedan

      Januari 29, 2009 at 3:36 am

  5. pak eri bisa saya kontak untuk menghubungi

    junaidy Ismail

    Desember 10, 2013 at 12:31 pm


Tinggalkan Balasan ke junaidy Ismail Batalkan balasan